Pages

Dampak fatwa MUI tenyang Larangan Merokok

A.     JUDUL PROGRAM
DAMPAK WACANA FATWA MUI TENTANG LARANGAN MEROKOK PADA INDUSTRI ROKOK DI KABUPATEN KUDUS

B.     LATAR BELAKANG
       Kudus merupakan kabupaten terkecil di Jawa Tengah dengan luas wilayah mencapai 42.516 Ha yang terbagi dalam 9 kecamatan. Kudus merupakan daerah industri dan perdagangan, dimana sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB. Jiwa dan semangat wirausaha masyarakat diakui ulet, semboyan jigang (ngaji dagang) yang dimiliki masyarakat mengungkapkan karakter dimana disamping menjalankan usaha ekonomi juga mengutamakan mencari ilmu. Dalam hal seni dan budaya, Kudus mempunyai ciri khas yang berbeda dengan daerah lain. Diantaranya adalah seni arsitektur rumah adat Kudus, kekhasan produk bordir dan gebyog Kudus. Keanekaragaman potensi yang dimiliki Kudus diharapkan mampu menarik masyarakat luar untuk bersedia hadir di Kudus (http://www.kuduskab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=51&Itemid=80).
       Menurut Salam (1956), terdapat 3 hal yang membuat Kota Kudus populer. Pertama, adanya tradisi Dandangan pada bulan Sya’ban (Ruwah), dan tatacara Rebut Langse (luwur) Makam Sunan Kudus (bulan Muharram). Kedua, Kudus dikenal juga sebagai ‘kota kretek’, karena produk rokoknya sebagai komoditas unggulan yang belum tertandingi. Dari bisnis tersebut Kudus mampu memberikan kontribusi sekitar 27 triliun pertahun bagi devisa negara. Ketiga, Kudus disebut sebagai kota wisata budaya, lantaran banyaknya situs dan penziarahan yang relatif komplit.
       Kota Kudus dikenal sebagai ‘kota kretek’, di kota yang terletak 50 Km sebelah timur Semarang Jawa Tengah ini terdapat ratusan perusahaan rokok baik yang berskala besar maupun kecil. Produksi rokok sebagai komoditas unggulan, mampu memberikan kontribusi yang sangat tinggi. Dan harus diakui, industri rokok kretek mampu mengangkat tingkat ekonomi Kabupaten Kudus. Diperkirakan sekitar 40 persen dari total 700.000 jiwa warga Kudus sehari-hari menggantungkan hidup dari aroma cengkeh rokok kretek.
       Namun citra Kudus sebagai kota kretek, bisa jadi segera berakhir. Industri rokok kretek yang sempat berkibar, sepuluh tahun terakhir ini mulai meredup. Beragam problem, mulai dari langkah pemerintah menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) dan pungutan cukai spesifik, kebijakan WHO (organisasi kesehatan dunia) untuk menyehatkan dunia tanpa tembakau, sampai dengan adanya wacana fatwa MUI tentang diharamkannya merokok, mau tidak mau membuat pabrik rokok kretek Kudus tergencet dan berimbas pada ketenagakerjaan (http://www.suaramerdeka.com/harian/0703/08/opi08.htm).
Kita perlu mengetahui bahwa industri rokok mempunyai dua sisi yaitu menguntungkan dan merugikan. Sisi menguntungkan industri rokok berupa pajak dan  cukai yang menyumbang pemasukan yang sangat besar bagi negara. Menurut Istiqomah (2003) pada harian Solo Pos tanggal 9 September 2002 tertulis bahwa untuk tahun 2003 nanti targetnya naik menjadi 22,6 triliun rupiah. Selain pemasukan bagi negara juga diketahui bahwa industri rokok ternyata menyerap banyak tenaga kerja. Melihat kenyataan itu, bagaimana mungkin menutup perusahaan rokok sementara masalah pengangguran saat ini cukup parah. Pengangguran di dalam negeri banyak.
Sedangkan dilihat dari segi merugikan bahwa rokok tidak baik bagi kesehatan karena mengandung zat-zat kimia yang berbahanya bagi tubuh manusia.
Pendek kata, jika seseorang dibiarkan merokok, maka kesehatan masyarakat terganggu dan ini mempengaruhi masa depan bangsa. Namun jika pabrik rokok ditutup, masalah pengangguran semakin parah dan merokok tingwe (nglinting dewe) atau meracik sendiri lebih berbahanya. Akhirnya pemerintah mengambil jalan tengah, yaitu membatasi kadar maksimum kandungan nikotin dan tar dalam setiap batang rokok. Ini memang cukup bijaksana (Istiqomah, 2003:74-75). Namun dewasa ini masyarakat dihadapkan pada sebuah wacana fatwa MUI tentang larangan merokok . Disadari atau tidak wacana tersebut pasti berdampak pada kelangsungan industri rokok, termasuk industri rokok di Kabupaten Kudus.
       Berbagai masalah yang sedang melanda para pengusaha rokok khususnya di Kabupaten Kudus menjadikan para pengusaha rokok tersebut mulai mencari peluang bisnis di bidang yang lain yang dirasa bisa memberikan masa depan yang lebih menjanjikan. Namun bagi rakyat kecil, khususnya para kaum buruh,  hal tersebut menimbulkan kekhawatiran yang cukup serius. Mengingat bahwa 40 persen dari jumlah penduduk Kudus berpenghasilan dari industri rokok, maka perlu adanya peninjauan ulang mengenai kebijakan-kebijakan tersebut sehingga tidak memunculkan suatu tanda tanya besar mengenai kelangsungan hidup masyarakat Kudus dan tidak menimbulkan pertanyaan “Apa yang terjadi pada tingkat kesejahteraan masyarakat kabupaten Kudus tanpa industri rokok?”.
       Dari pemikiran tersebut, penelitian mengenai perkembangan industri rokok di Kabupaten Kudus di tengah berbagai kebijakan yang cenderung menghimpit serta dampaknya pada status sosial ekonomi masyarakat Kudus menjadi penting dan menarik untuk dikaji.

C.     PERUMUSAN MASALAH
       Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana wacana fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang larangan merokok berkembang dalam masyarakat?
2.      Bagaimana dampak wacana fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang larangan merokok pada industri rokok dan tingkat ekonomi masyarakat Kabupaten Kudus?

D.    TUJUAN PROGRAM
       Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan yaitu;
1.      Memberikan gambaran bagaimana wacana fatwa MUI tentang larangan merokok berkembang dalam masyarakat.
2.      Menjelaskan mengenai dampak wacana fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang larangan merokok pada industri rokok dan tingkat ekonomi masyarakat di Kabupaten Kudus.

E.     LUARAN YANG DIHARAPKAN
       Luaran yang diharapkan dari penelitian yang akan dilakukan yaitu kajian ilmiah tentang dampak wacana fatwa majelis ulama indonesia (MUI) tentang larangan merokok pada perkembangan industri rokok dan tingkat ekonomi masyarakat kabupaten kudus.

F.      KEGUNAAN PROGRAM
Kegunaan dari penelitian ini yang akan dilakukan;
1.      Secara teoritis yaitu menambah khasanah ilmu pengetahuan.
2.      Secara praktis yaitu dari hasil penelitian dapat diambil sebagai bahan pertimbangan Pemerintah dalam mengambil kebijakan mengenai larangan merokok.

G.    TINJAUAN PUSTAKA
1.      Industri Rokok dan Tingkat Perekonomian Masyarakat Kabupaten Kudus
                        Kabupaten Kudus terletak di Provinsi Jawa Tengah, di lereng Gunung Muria, sekitar 50 km dari Semarang. Kudus merupakan kabupaten terkecil di Jawa Tengah dengan luas wilayah mencapai 42.516 Ha yang terbagi dalam 9 kecamatan. Kudus merupakan daerah industri dan perdagangan, dimana sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB. Letak Kudus berada 51 km sebelah timur Kota Semarang. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan di selatan, serta Kabupaten Demak dan Kabupaten Jepara di barat. Kudus dikenal sebagai kota penghasil rokok kretek terbesar di Jawa Tengah.
                        Sejarah rokok kretek di Kudus berawal dari penemuan Haji Djamari merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok  yang digunakan untuk obat sakit dada. Permintaan rokok buatan Djamari inipun meningkat. Penyebutan rokok “kretek” ini lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "kemeretek".
Rokok kretek kian dikenal. Namun tak begitu dengan penemunya,  Djamari diketahui meninggal pada 1890. Siapa dia dan asal-usulnya hingga kini masih belum jelas. Hanya temuannya itu yang terus berkembang. Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek "Tjap Bal Tiga". Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.
Beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelum Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok "klobot" (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya (http://kudus.multiply.com/journal/item/2).
Produk industri rokok yang dikenal di kudus terdapat dua jenis yaitu sigaret (rokok buatan mesin) dan kretek (rokok asli). Sigaret dikenal dengan rokok buatan mesin negeri barat, yang kemudian disebut (sesuai dengan pemakaian Indonesia) sebagai rokok “putih”. Kretek adalah produk tembakau khas Indonesia yang didalamnya tembakau dicampur dengan perimbangan rata-rata dua bagian tembakau kepada satu bagian cengkeh. Campuran itu dapat digulung dengan kertas, hasilnya menyerupai bentuk rokok biasa kecuali gulungan itu biasanya lebih tebal dan tidak persis bentuk silinder. Orang Indonesia kadang-kadang  menyebutnya sigaret kretek, tidak menyebutkan istilah kretek untuk rokok yang digulung dengan klobot. Rokok klobot ini disebut juga strootje (kata yang berasal dari bahasa Belanda artinya rokok jerami). Tetapi, dalam tulisan ini kretek atau rokok kretek dipergunakan untuk semua rokok yang berisi cengkeh, terlepas dari penggulungannya.(Castle, 1982:42).
Sumbangan apakah yang dapat diharapkan dari industri kretek terhadap kesejahteraan dan pembangunan ekonomi Indonesia? Pertama, Industri kretek dapat mempekerjakan kelebihan tenaga kerja di bagian negeri yang kelebihan penduduk. Tentu saja hal ini terjadi, tetapi 60.000 – 70.000 yang bekerja menunjukkan tidak lebih dari seperlima persen tenaga kerja nasional. Data yang mengesankan terhadap pekerjaan di dalam pabrik besar menjadi kurang menarik perhatian bila diingatkan betapa kecilnya peranan ekonomi nasional yang ditunjukkan produksi pabrik.
Kedua, industri kretek dapat menambah pendapatan pemerintah. Tambahan lagi, Industri kretek memainkan peranan penting meskipun jauh kurang penting dibandingkan dengan industri rokok buatan mesin.
Industri kretek dapat juga menyumbang ekonomi nasional karena menjadi sumber modal dan keterampilan pengusaha bagi industri-industri lain yang secara teknik lebih maju dan modal intensif. Akhirnya, industri kretek dapat diharapkan membantu perluasan industri keluarga. Karena rokok merupakan barang konsumsi akhir, tidak dapat diperbuat “hubungan ke depan”. “Hubungan ke belakang” ada. Industri kretek mendorong tumbuhan industri percetakan di Kudus (dan sudah pasti di tempat lain juga) untuk menyediakan kertas karton, yang semula diimpr dari jepang. Perusahaan percetakan ini tetap kecil dan sederhana. Yang lebih penting adalah penawaran kertas, yang dibutuhkan industri dalam jumlah besar dan hampir seluruhnya masih diimpor. Dengan alasan ini, organisasi produsen (OPS Rokok Kretek) turut membangun satu pabrik kertas di Kudus, yang direncanakan penyelesaiannya tahun 1964 (Castle, 1982:54-57).
Tingkat Ekonomi
                        Ekonomi adalah motif – motif yang menyangkut usaha mencari nafkah, akumulasi kekayaan dan lain sebagainya yang secara khusus oleh para psikoanalisis untuk produksi dan konsumsi dari energi manusia sesuai dengan asas kegunaan yang setinggi-tingginya dengan pengorbanan uang atau upaya yang sekecil-kecilnya (Kartasasmita, 1992).
                        Secara umum, kondisi ekonomi lebih menitikberatkan pada pola produksi, konsumsi dan distribusi yang terjadi dalam masyarakat (Kartasasmita, 1992). Segala macam tindakan ekonomi yang dilakukan masyarakat Kudus yang bekerja di industri-industri terutama industri rokok didorong oleh faktor kurangnya pendapatan mereka sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup.
                        Kebutuhan hidup manusia terbagi menjadi tiga antara lain:
a.       Kebutuhan Primer
        Kebutuhan yang paling pokok dalam kehidupan manusia. Contoh: kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal.

b.      Kebutuhan sekunder
        Kebutuhan pendamping atau pelengkap kebutuhan utama manusia. Contoh: transportasi seperti sepeda,motor, mobil dan sebagainya.

c.       Kebutuhan tersier
        Kebutuhan yang muncul setelah kebutuhan primer dan skunder terpaut, contoh: rekreasi atau hiburan.
                        Tingkat ekonomi sering disamakan dengan tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan adalah tingkat hasil pencaharian atau perolehan yang diterima seseorang tidak hanya berupa uang tetapi dapat berupa barang atau lainnya dalam kurun waktu tertentu (perminggu, perbulan dan pertahun) ( Sumadi dan Evers, 1982: 20).
                        Penelitian ini mengenai tingkat ekonomi terutama mengetahui tingkat pendapatan industri rokok dan masyarakat Kudus setelah adanya wacana fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Masyarakat
                        Definisi masyarakat mencakup beberapa unsur, antara lain, manusia yang hidup bersama, bercampur untuk waktu yang lama, sadar bahwa masyarakat merupakan suatu sistem hidup bersama (Soekanto, 2002: 24-25).
                        Masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang terorganisasi yang hidup dan bekerjasama, yang berintegrasi dalam mencapai tujuan bersama (Joyomartono, 1991:12). Masyarakat memiliki struktur atau organisasi, suatu sistem yang mengatur, yang mendefinisikan dan mengatur saling hubungan diantara anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
                        Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat kabupaten Kudus.

2.      Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
                        Fatwa (dari bahasa Arab فتوى‎), adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah dewan mufti atau ulama. Penggunaannya dalam kehidupan beragama di Indonesia, Fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai suatu keputusan tentang persoalan ijtihadiyah yang terjadi di Indonesia guna dijadikan pegangan pelaksanaan ibadah umat Islam di Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Fatwa).
                        MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah lembaga yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
                        Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
                        Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penerjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik (http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama _Indonesia).
                        Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga  mengeluarkan fatwa sebagai upaya dakwah yaitu menyeru, mengajak kepada umat Islam agar memahami, melaksanakan ajaran agama Islam dengan benar. Selain hal itu Majelis Ulama Indonesia juga sebagai penghubung antara ulama dan pemerintah dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional. Namun, mengenai kontroversi fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang larangan merokok ternyata juga dikhawatirkan mengancam industri-industri dan ketenagakerjaan terutama industri rokok di Kudus. Hal inilah yang menjadi perhatian untuk kami teliti.

H.     METODE PENELITIAN
1.       Alat dan Teknik Pengumpulan data.
            Menurut Rachman (1997:71), bahwa penelitian disamping menggunakan metode yang tepat, juga perlu memilih teknik dan alat pengumpulan data yang relevan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a.       Metode Observasi
     Metode observasi terlibat ini peneliti mengadakan pengamatan secara langsung terhadap subyek yang diteliti dalam kurun waktu yang cukup lama. Observasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan pengecap. (Arikunto, 1997:128)Teknik observasi menurut Arikunto, adalah kegiatan yang pemusatan perhatian  terhadap suatu objek menggunakan seluruh alat indra (Arikunto, 1993:145).
      Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan data secara sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala pada objek penelitian dengan melihat pedoman sebagai instrumen pengamatan yang ditujukan kepada masyarakat dan Industri rokok di Kabupaten Kudus untuk mendapatkan data tentang dampak fatwa majelis ulama indonesia (MUI) tentang larangan merokok pada perkembangan industri rokok dan tingkat ekonomi masyarakat Kabupaten Kudus.

b.      Metode wawancara
Metode wawancara atau metode interview, mencakup cara yang yang dipergunakan kalau seseorang, untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lesan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu ( Koentajaraningrat, 1983 :129).
Sedangkan menurut Rachman, metode wawancara adalah metode pengumpulan informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula (Rachman, 1999:85).
Wawancara ini digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan industri rokok di Kabupaten Kudus. Peneliti menggunakan alat pengumpulan data yang berupa pedoman wawancara yaitu instrumen yang berbentuk pertanyaan yang ditujukan kepada masyarakat dan industri di Kabupaten Kudus untuk mendapatkan data tentang dampak fatwa majelis ulama indonesia (MUI) tentang larangan merokok pada perkembangan industri rokok dan tingkat ekonomi masyarakat Kabupaten Kudus.

c.       Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 1997 : 236)
Sedangkan menurut Arikunto metode dokumentasi yaitu cara pengambilan data menggunakan barang-barang tertulis, buku-buku, majalah, dokumen peraturan, notulen rapat, catatan harian yang harian yang berhubungan dengan masalah penilitian (Suharsimi, 1996:77).
Dalam penelitian ini metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data seperti foto-foto tradisi, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk menambah data yang ada pada peneliti.
Dalam alat dan teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan (tiga) metode yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Peneliti menggunakan ketiga metode ini karena cukup relevan dalam pengumpulan data.

2.      Validitas Data dan Reliabilitas Data
            Uji keabsahan data dalam penelitian, sering hanya ditekankan pada uji validitas dan reliabilitas. Dalam penelitian kualitatif, kriteria utama terhadap data hasil penelitian adalah valid reliabel dan objektif. Validitas merupakan derajat ketetapan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti dengan demokian data yang valid adalah data yang tidak berbeda antar data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian (Sugiyono, 2005:117)
Validitas sangat mendukung dalam menentukan hasil akhir penelitian, oleh karena itu diperlukan beberapa teknik untuk memeriksa keabsahan data yaitu dengan menggunakan teknik triangulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2002 : 178). Triangulasi yang dipakai dalah triangulasi dengan sumber yang membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Patton dalam Moleong , 2002 : 178).
Hal ini dapat dicapai dengan jalan :
1)      Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2)      Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
3)      Membandingkan apa tang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu
4)      Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa. Orang yang berpendidikan menengah dan tinggi, orang yang berada, orang pemerintahan.
5)      Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang terkait.

3.      Metode Analisis Data
            Dalam proses analisis data terdapat komponen-komponen utama yang harus benar-benar dipahami. Komponen tersebut adalah reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau Verifikasi (Sutopo dalam Rachman, 1999:34). Untuk menganalisis berbagai data yang sudah ada digunakan metode Deskriftif Analitik. Metode ini digunakan untuk menggambarkan data-data yang sudah di peroleh melalui prose analisis yang mendalam dan selanjutnya dikomunikasikan dalam bentuk secara runtut atau dalam bentuk naratif.
Analisis data dilakukan secara induktif, yaitu dimulai dari lapangan atau fakta empiris dengan cara terjun ke lapangan. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara bersamaan dengan proses pengumpulan data.
Menurut Milles Huberman (1999:20) tahap analisis data adalah sebagai berikut :
1.      Pengumpulan data
      Peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan.

2.      Reduksi Data
      Reduksi data yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus peneliti. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data-data yang di reduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti unutk mencari sewaktu-waktu diperlukan.

3.      Penyajian Data
      Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data merupakan analisis dalam bentuk matrik, network, cart atau grafis sehingga peneliti dapat menguasai data.

4.      Pengambilan Kesimpulan atau Verifikasi
      Peneliti berusaha mencari pola, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya, jadi dari data tersebut peneliti mencoba mengambil kesimpulan. Verifikasi dapat dilakukan dengan keputusan, didasarka pada reduksi data, dan penyajian data yang merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Keempatnya dapat digambarkan dalam bagan berikut:

                   Gambar 1. Komponen analisis data model interaktif (Miles,1992:19).

Keempat komponen tersebut saling interaktif yaitu saling mempengaruhi dan terkait. Pertama-tama peneliti melakukan penelitian di lapangan dengan mengadakan wawancara atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data. Karena data yang dikumpulkan banyak maka diadakan reduksi data, selain itu pengumpulan data juga digunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga tersebut selain dilakukan, maka diambil suatu keputusan atau verifikasi.

1.      Prosedur  Penelitian
                        Prosedur penelitian ini dilakukan meliputi tiga tahap yaitu :
1.      Tahap Prapenelitian
      Dalam tahap ini peneliti membuat rancangan penelitian, membuat instrumen penelitian dan membuat ijin penelitian.
2.      Tahap Penelitian
a.     Melakukan penelitian, yaitu mengadakan wawancara kepada masyarakat dan aparat di Kabupaten Kudus.
b.    Pengamatan secara langsung mengenai industri rokok di Kabupaten Kudus.
c.    Kajian pustaka yaitu pengumpulan data dari informasi dan buku buku.


3.      Tahap Pembuatan Laporan
      Dalam tahap ini peneliti menyususn data hasil penelitian untuk dianalisis kemudian dideskripsikan sebagai suatu pembahasan dan terbentuk suatu laporan hasil penelitian.
 
A.     DAFTAR PUSTAKA
Ari Kunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik).    Jakarta: Rineka Cipta.
Castle, Lance. 1982. Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa:         Industri Rokok Kudus. Jakarta: Sinar Harapan.
Djokosantoso. 2007. Sejarah Rokok di Kudus. Dalam       http://kudus.multiply.com/journal/item/2 diunduh pada tanggal 14 September 2008.
Fatwa. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Fatwa yang diunduh pada tanggal             17 september 2008.
Gambaran Umum Kota Kudus. Dalam      http://www.kuduskab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&i       d=51&Itemid=80 yang diunduh pada tanggal 14 September 2008.
Istiqomah, Umi. 2003. Upaya Menuju Generasi Tanpa Merokok (Pendekatan     Analisis untuk Menanggulangi dan Mengantisipasi Remaja Merokok).     Surakarta: Seti-Aji
Joyomartono, Mulyono.1991. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam    Pembangunan. Semarang: UNNES Press.
Kartasasmita G, Hartini. 1992. Kamus dan Kependudukan. Jakarta: Bumi Aksara.
Koentjaraningrat. 1998. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:       Puska Utama.
Majelis Ulama Indonesia. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama           _Indonesia yang diunduh pada tanggal 17 September 2008.
Moleong, Lexy. 2004. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja      Rosda Karya.
Rahman, Maman. 1999. Strategi dan langkah-langkah Penelitian. Semarang:       IKIP Semarang Press.
Salam, Solichin. 1956. Kota Wali. Dalam http//www.kuduskotawali.com yang         diunduh pada tanggal 14 september 2008.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo      Persada.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Sugito, M. Basuki. 2008. Kudus (Bekas) Kota Kretek. Dalam        http://www.suaramerdeka.com/harian/0703/08/opi08.htm yang diunduh             pada tanggal 14 September 2008.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda disini. apa saja. monggo.