Pages

“Pergantian Topeng Masyarakat Jawa Pedesaan; Suatu Review Muka Dua Desa Jawa –antara Egalitarisme dan Diferensiasi”

Seperti pada tulisan-tulisan sejenisnya, tulisan yang merupakan terjemahan dari karya aslinya yang berbahasa Inggris, atau paling tidak ditulis oleh orang asing selalu memiliki tantangan tersendiri untuk memahaminya. Hal itu dikarenakan murni dari persoalan semantik saja. Tak terkecuali tulisan yang satu ini dengan judul “Muka Dua Desa Jawa; Egalitarisme dan Deferensiasi”. Perlu konsentrasi yang mendalam untuk dapat memahaminya.

Secara garis besar, tulisan tersebut berbicara mengenai sistem sosial beserta segenap perubahan-perubahan sosialnya yang terjadi pada kelompok sosial desa di Jawa antara kurun waktu 1920 hingga masa setelah Indonesia memperoleh kemerdekannya. Pokok pikiran penting yang saya tangkap dan saya jadikan pokok bahasan utama dalam review ini adalah perubahan sistem sosial di pedesaan Jawa, lebih tepatnya adalah perubahan karakter pertanian desa di Jawa yang membawa pengaruh pada kehidupan sosialnya. Sehingga menimbulkan suatu keadaan yang berbeda yang oleh penulis buku nya sendiri disebut sebagai bermuka dua. Namun demikian, pada dasarnya perbedaan kedua muka tersebut terjadi pada saat yang tidak bersamaan, sebagai dampak dari sistem pemerintahan yang memiliki ‘otoritas’ untuk mengendalikan masyarakat desa Jawa saat-saat itu. Oleh karena itulah, perubahan sosial –lebih tepatnya perubahan sistem pertanian- menjadi pokok pikiran penting dalam tulisan itu, dan tidak akan saya hilangkan dalam review kali ini.

Kebudayaan Petani di Jawa dan Kebudayaan Jawa di Kota

Petani Di Pedesaan Jawa
Masyarakat Jawa, sejak dulu kala memang masyarakat yang banyak menarik perhatian para ilmuwan untuk dikaji secara mendalam. Dari mulai religi, tatanan perekonomian masyarakatnya, hingga struktur sosial lainnya. Tak terkecuali tentu saja kajian tentang kehidupan berbudaya petani jawa yang menjadi basis komunitas masyarakat jawa dan budaya masyarakat jawa di perkotaan pada perkembangan berikutnya di mana masyarakat mulai banyak menerima unsur budaya asing yang lebih modern yang kemudian terbentuk dalam komunitas jawa perkotaan.

Hal itu tentu tak luput dari perhatian banyak ilmuwan untuk mengkaji. Mulai dari ilmuwan dari luar nusantara hingga ilmuwan pribumi sendiri. Koentjaraningrat (1984) telah meneguhkan perhatiannya ini pada sebuah buku yang berjudul “Kebudayaan Jawa” yang didalamnya dikaji secara mendalam mulai dari sejarah kebudayaan Jawa, Kebudayaan petani Jawa, kebudayaan Jawa di perkotaan, religi orang Jawa, dan klasifikasi simbolik dan orientasi nilai budaya orang Jawa. Namun demikian, dalam paper ini hanya akan saya tuliskan perihal dua bagian saja, yaitu kebudayaan petani Jawa dan kebudayaan orang Jawa di perkotaan, sebagai hasil dari review dari buku Koentjaraningrat di atas.

“Antropologi Kiai: Kiai sebagai Jembatan Politik dan Budaya” Sebuah Tulisan tentang Kebudayaan dan Politik


“Kiai Muchit dari Jember. Ia seorang ulama ‘tradisional’ yang mahir berpikir ‘modern’, misalnya berbicara real politics, menjadi anggota DPRD, berhubungan dengan bupati, dan menjadi dosen di sebuah universitas setempat. Ia mungkin tipe ulama-intelek, yang komitmennya tercurah pada perjuangan meratakan pesan perbaikan moral pribadi. Ia disebut lebih realistis, lebih ade, dari intelek-ulama, yakni sarjana dalam bidang non-agama, tetapi mengajarkan agama dengan militansi yang menakutkan ber-wajah- ‘garang’. Kiai Muchit memberi pelajaran, orang harus giat menampakkan keberanian moral, termasuk melawan segenap kesalahan meskipun itu dilakukan umatnya sendiri. Implikasinya, ia pun rela dihujani caci maki umatnya. Bahkan ia diberi tuduhan buruk: membela pemerintah. Persoalannya yang melatarbelakangi adalah: saat aksi sepihak PKI dilancarkan, ia malah menentang kiai-kiai yang tidak mau menerima UU tentang pembatasan hak milik pribadi. Para kiai menyampaikan argumen bahwa dalam mazhab Syafi’i yang kita anut, tidak ada perkara pembatasa hak milik pribadi. ‘tapi, bukankah ada larangan memperoleh hak milik secara tidak halal? Dapatkan sampeyan membuktikan bahwa, misalnya, 50 hektar tanah milik petani kaya itu diperoleh dengan cara halal?’ kata Kiai Muchit. ‘bukankah si kaya merampas si miskin yang tak mampu menebus sawahnya yang tergadai?’ Orang pun marah kepadanya. Tuduhan membela pemerintah itu bukan cuma menempatkannya dalam posisi tak nyaman, melainkan juga buruk, sangat buruk, terutama dalam kurun orde baru. Di saat pemerintah memperlihatkan cengkraman kuku-kukunya yang tajam ke seluruh sektor kehidupan rakyat, dan karena itu rakyat kelihatan –hampir dalam semua hal- tak berdaya menghadapi kekuasaan yang cenderung tidak adil, membela pemerintah dianggap dosa politik yang tak berampun. Membela pemerintah dinilai lebih dari sekedar pengecut. Dalam konteks ini, Kiai Muchit memang bersedia mempertaruhkan kredibilitasnya. Ia rela kehilangan kepercayaan umatnya sendiri. Baginya, mungkin, ada sikap politik yang tak perlu dijelaskan kepada umat. Dan tebusannya mahal sekali: ia berani mengambil resiko menjadi korban umpatan massa.”
******
Ilustrasi diatas saya kutip dari tulisan Gus Dur berjudul “Kiai nyentrik membela pemerintah” yang dimuat koran Tempo (5 April 1980) yang kemudian oleh sebagian orang tulisan-tulisan Gus Dur yang senada dengan itu dinamai sebagai “Antropologi Kiai”. Essai di ataslah yang akan mengantarkan saya pada pembahasan dengan tema besar ‘Kebudayaan dan Politik’ yang mulai dibahas oleh banyak Antropolog pasca 1940-an dalam bingkai ilmu Antropologi Politik yang sebagian mengambil fokus kajian pada peran para ‘perantara politik’ atau bahkan ‘makelar budaya’ yang menjembatani jurang antara ‘dunia luar’ dengan ’masyarakat tribal’, dalam konteks ini saya ambil contoh ‘Kiai’ seperti yang dikatakan Geerts dan Turmudzi, dimana kiai disini menjadi sosok pemimpin bercirikan tradisional.

“Mengapa Tanah? Suatu Review Anak Jajahan Belanda”


Seperti halnya Koentjaraningrat (1984) yang telah mengungkap sebuah sistem sosial yang ada dalam masyarakat Jawa –yang ditulis dalam bukunya “kebudayaan Jawa”-, begitu juga yang dilakukan oleh Peter Boomgard yang melakukan penelitian di Jawa antara tahun 1795-1880. Buku itu kemudian diberinya judul “Anak Jajahan Belanda; Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa”

Dari buku itu, kita ditarik perhatiannya untuk melihat suatu tatanan sistem sosial masyarakat pedesaan di Jawa. Bahkan Boomgard telah menuliskan bab khusus tentang desa. Bab inilah yang hendak saya kupas. Setelah membacanya dan mengikuti diskusi bersama di kelas Struktur Sosial, paling tidak terdapat empat point penting yang akan saya tuliskan di sini. Keempat point itu adalah mengenai stratifikasi yang ada dalam masyarakat desa di Jawa, dasar yang melandasi adanaya struktur tersebut, alasan kenapa dasar-dasar itu yang bisa menjadi landasan ‘tergambarnya’ struktur di pedesaan Jawa, dan mengenai bagaimana peran-peran dari sub-sub sistem tersebut. Saya katakan struktur sosial sebagai sesuatu yang ‘tergambar’ karena pada hakikatnya struktur sosial adalah sesuatu yang tidak konkret, melainkan sesuatu yang abstrak. Ia sesuatu yang tidak bisa dilihat apalagi diraba, dan oleh karenanya, menjadi ada dan dapat dilihat oleh manusia tak lain karena direka-reka dan digambarkan bentuk dan modelnya oleh manusia. Struktur sosial sendiri dapat dikerucutkan lagi dalam bentuk yang lebih kecil, yaitu stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Kesemuanya ini adalah satu kesatuan dalam bingkai besar sistem sosial. Hanya saja, struktur sosial tidak memperlihatkan adanya hubungan timbal balik seperti yang diperlihatkan oleh sistem sosial. Akan tetapi, yang jelas bahwa sistem sosial dan struktur sosial adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.