Pages

“Mengapa Tanah? Suatu Review Anak Jajahan Belanda”


Seperti halnya Koentjaraningrat (1984) yang telah mengungkap sebuah sistem sosial yang ada dalam masyarakat Jawa –yang ditulis dalam bukunya “kebudayaan Jawa”-, begitu juga yang dilakukan oleh Peter Boomgard yang melakukan penelitian di Jawa antara tahun 1795-1880. Buku itu kemudian diberinya judul “Anak Jajahan Belanda; Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa”

Dari buku itu, kita ditarik perhatiannya untuk melihat suatu tatanan sistem sosial masyarakat pedesaan di Jawa. Bahkan Boomgard telah menuliskan bab khusus tentang desa. Bab inilah yang hendak saya kupas. Setelah membacanya dan mengikuti diskusi bersama di kelas Struktur Sosial, paling tidak terdapat empat point penting yang akan saya tuliskan di sini. Keempat point itu adalah mengenai stratifikasi yang ada dalam masyarakat desa di Jawa, dasar yang melandasi adanaya struktur tersebut, alasan kenapa dasar-dasar itu yang bisa menjadi landasan ‘tergambarnya’ struktur di pedesaan Jawa, dan mengenai bagaimana peran-peran dari sub-sub sistem tersebut. Saya katakan struktur sosial sebagai sesuatu yang ‘tergambar’ karena pada hakikatnya struktur sosial adalah sesuatu yang tidak konkret, melainkan sesuatu yang abstrak. Ia sesuatu yang tidak bisa dilihat apalagi diraba, dan oleh karenanya, menjadi ada dan dapat dilihat oleh manusia tak lain karena direka-reka dan digambarkan bentuk dan modelnya oleh manusia. Struktur sosial sendiri dapat dikerucutkan lagi dalam bentuk yang lebih kecil, yaitu stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Kesemuanya ini adalah satu kesatuan dalam bingkai besar sistem sosial. Hanya saja, struktur sosial tidak memperlihatkan adanya hubungan timbal balik seperti yang diperlihatkan oleh sistem sosial. Akan tetapi, yang jelas bahwa sistem sosial dan struktur sosial adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Kembali kepada tulisan Boomgard mengenai desa di Jawa, pada dasarnya struktur sosial yang ada dalam desa di Jawa saat itu berkisar pada tatanan pada hal penguasaan tanah dan birokrasi. Melalui keduanya akan terbentuk suatu hierarki sosial yang masing-masing terwujud pada status yang berbeda dan memilki peran-peran yang berbeda pula. Boomgard menyebutkan adanya istilah sikep pada struktur masyarakat Jawa pedesaan. Yang saya tangkap dari istilah ini adalah bahwa sikep merupakan sosok penguasa tanah, atau orang yang memiliki tanah. Kenapa ada penekanan pada orang yang memiliki tanah karena tentu saja terdapat orang yang tidak memiliki tanah. Ini terkait pada kondisi masyarakat Jawa yang saat itu sudah mulai padat sehingga tidak semua orang memiliki tanah. Penguasaan tanah pada masyarakat Jawa pedesaan didasari pada pengukuran tanah yang memiliki istilah-istilah tersendiri, seperti istilah sakbau, ditempat lain bisa kita temukan istilah lain seperti sakiring dan sakidu (Pekalongan). 

Pada 1880, Boomgard menyebutkan bahwa di Cirebon telah terdapat suatu diferensiasi sosial atas kelompok pemilik tanah. Ia membedakan tiga kelompok, yaitu;
1. Orang tua atau orang bale, yang terdiri atas kepala desa (kuwu), dan anggota pemerintahan desa lainnya.
2. Anggota keluarga para administrator desa dan orang-orang lainnya, yang karena kaya atau karena alasana lain, sangat dihargai. Mereka ini disebut priyayi.
3. Sikep biasa. Sikep ini memilih para pengurus desa dan mereka sendiri pun dapat memilih untuk jabata semacam itu.
Boomgard kemudian bahkan mengelompokkan lebih detail lagi mengenai pembagian kelompok sikep:
1. Pengurus desa, termasuk kepala desa.
2. Aden atau baron.
3. Sikep “biasa dengan tanah milik sekitar 1 bau.
4. Pemilik tanah kecil.
Selain membedakan stratifikasi pada kelompok pemilik tanah, Boomgard juga mengelompokkan keluarga yang tidak memiliki tanah. Kelompok ini dibaginya menjadi tiga kelompok. Yaitu:
1. Petani penyewa yang memiliki sebuah pondok dengan pekarangannya. Mereka ini disebut dalam beberapa literatur sebagai lindung.
2. Petani yang tidak memiliki pekarangan, tetapi memiliki rumah sendiri. Mereka ini disebut sebagai anguran atau pondok tempel.
3. Petani yang tak punya pekarangan dan rumah, yang tinggal sebagai penyewa di rumah seorang sikep. Mereka ini disebut sebagai numpang.

Stratifikasi dan diferensiasi sosial itulah yang kurang lebih digambarkan oleh Boomgard. Seperti yang telah saya sebutkan diatas, pembagian atas ini didasari oleh sistem penguasaan tanah dan birokrasi. Sistem penguasaan tanah mengacu pada bidang ekonomi dan sistem birokrasi mengacu pada sistem politik atau pemerintahan. 
Pertanyaannya adalah mengapa tanah yang dijadikan dasar struktur itu. Pertanyaan ini bisa dijawab dengan melihat bahwa kondisi masyarakat Desa di Jawa saat itu berada pada sistem agraria yang subsisten. Tanah dijadikan tempat untuk menanam padi yang hasilnya cukup untuk makan sehari-hari saja. Tidak ada potensi untuk mencari surplus. Hal ini menjadikan tanah menjadi sangat penting. Terlebih lagi belum berkembangnya sistem industri dan jasa serta pendidikan yang menjadikan tanah semakin penting untuk pengukuran status seseorang.
Kedua, mengapa sistem pemerintahan dapat pula menjadi dasar pelapisan sosial. Hal ini dapat dilihat dari kenyataa sejarah bahwa adanya suatu desa tak lepas dari adanya cikal bakal yang pertama kali mbabat alas. Orang-orang ini kemudian menjadi sesepuh desa atau disebut sebagai panembahan senopati. Tentu saja, orang-orang semacam ini memiliki otoritas dan tanggung jawab untuk mengatur rakyatnya. Pada perkembangannya, keturunan menjadi sesuatu yang patut juga diperhatikan.
Dari uraian diatas, dapat juga kita tangkap masing-masing peran yang dimainkan oleh setiap status yang ada. Para pemilik sawah dapat berperan untuk menyewakan sawahnya, bahkan dia bisa juga menyediakan tempat untuk menumpang bagi orang yang tak memiliki pekarangan dan rumah. Bagi para birokrat, tentu saja mereka berperan dalam mengatur masyarakatnya dengan menerapkan bersama masyarakat suatu sistem nilai dan norma yang disepakati bersama. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda disini. apa saja. monggo.