Seperti pada tulisan-tulisan sejenisnya, tulisan yang merupakan terjemahan dari karya aslinya yang berbahasa Inggris, atau paling tidak ditulis oleh orang asing selalu memiliki tantangan tersendiri untuk memahaminya. Hal itu dikarenakan murni dari persoalan semantik saja. Tak terkecuali tulisan yang satu ini dengan judul “Muka Dua Desa Jawa; Egalitarisme dan Deferensiasi”. Perlu konsentrasi yang mendalam untuk dapat memahaminya.
Secara garis besar, tulisan tersebut berbicara mengenai sistem sosial beserta segenap perubahan-perubahan sosialnya yang terjadi pada kelompok sosial desa di Jawa antara kurun waktu 1920 hingga masa setelah Indonesia memperoleh kemerdekannya. Pokok pikiran penting yang saya tangkap dan saya jadikan pokok bahasan utama dalam review ini adalah perubahan sistem sosial di pedesaan Jawa, lebih tepatnya adalah perubahan karakter pertanian desa di Jawa yang membawa pengaruh pada kehidupan sosialnya. Sehingga menimbulkan suatu keadaan yang berbeda yang oleh penulis buku nya sendiri disebut sebagai bermuka dua. Namun demikian, pada dasarnya perbedaan kedua muka tersebut terjadi pada saat yang tidak bersamaan, sebagai dampak dari sistem pemerintahan yang memiliki ‘otoritas’ untuk mengendalikan masyarakat desa Jawa saat-saat itu. Oleh karena itulah, perubahan sosial –lebih tepatnya perubahan sistem pertanian- menjadi pokok pikiran penting dalam tulisan itu, dan tidak akan saya hilangkan dalam review kali ini.
Jika tidak menghayati dengan seksama dan mencoba menarik benang merah dalam persoalan struktur sosial masyarakat jawa, maka yang akan kita dapatkan adalah pertentangan hasil-hasil penelitian tentang pedesaan Jawa oleh para peneliti Eropa –khususnya Belanda- seperti Du Bus, Van Den Bosch, Dirk Ban Hogendorp, Raffles, Boeke, Geertz; maupun oleh peneliti-peneliti tanah air setelah terputusnya penelitian-penelitian orang Eropa seteleh dekolonisasi, seperti Adiwilaga, Bachtiar Rifai, Koenttjaraningrat, bahkan Soekarno sang bapak republik. Tulisan itu, secara eksplisit lebih banyak memaparkan berbagai pikiran-pikiran dan atau penelitian-penelitian oleh para ahli beserta pertentangan-pertentangannya, ketimbang memberikan fokus kajian yang mendalam mengenai kondisi pertanian masyarakat desa Jawa. Meskipun demikian hal ini sah-sah saja dan wajar dalam karya antropologi untuk memberikan suatu studi komparatif mengenai suatu hal. Lebih dari itu, perbedaan-perbedaan itu juga banyak yang disebabkan karena waktu yang berbeda pula, sehingga memberikan hasil penelitian yang berbeda.
Defisit anggaran belanja Belanda memaksa pemerintahnya untuk memikirkan dan melaksakan strategi perekonomian yang tepat di Hindia Belanda agar dapat menghasilkan surplus yang bisa digunakan untuk menutup defisit negeri induk tersebut. Saat itu desa di jawa dipandang sebagai suatu sistem ekonomi yang mandeg. Hal ini diakibatkan oleh rasa komunalitas dan egaliter yang tinggi pada masyarakat desa Jawa. Modal sosial lebih penting dari sekedar mencari keuntungan untuk memperkaya diri. Hal ini adalah ciri dari petani subsistensi. Kondisi demikian susah diharapkan untuk tumbah menjadi sistem ekonomi yang maju karena tidak ada persaingan antarwarganya. Kelebihannya adalah satu muka saja, yaitu rasa kebersamaan di tengah kemiskinan bersama. Tak ada yang kaya sekali, dan tak ada yang miskin sekali. Pemerataan menjadi sesuatu yang diidamkan. Oleh karena itulah, diferensiasi dan stratifikasi menjadi sangat longgar. Semua orang terasa pada derajat yang sama.
Kondisi demikian relatif berubah dalam kurun waktu 1970-an setelah Indonesia bersatu, terutama dalam masa Orde Baru di bawah tapuk kepemimpinan Jenderal Soeharto. Revolusi Hijau melalui program Bimas (Bimbingan Massal) memperbarui sistem pertanian desa Jawa dengan masuknya teknologi baru dan sistem kapitalisme. Di sini, sistem ekonomi rasional telah dimainkan untuk terus meningkatkan hasil produksi dari sawah. Di sini, evolusi dalam dunia pertanian desa di Jawa telah terjadi, dari ciri subsisten menjadi ekonomi rasional dengan memperhitungkan capital dan tentu saja orientasi keuntungan.
Dari perubahan itu, akibatnya jelas. Muka yang kedua dari desa Jawa telah muncul, yaitu tampaknya diferensiasi dan stratifikasi yang lebih ketat pada masyarakat Jawa pedesaan. Dan sebagai konsekuensinya, sifat egaliter sebagai muka sebelumnya mengalami kelunturan. Modal sosial menjadi tersendat akibat hubungan antara petani kaya dan petani gurem, antara borjuis Jawa dan kaum proletar, yang didasari pada hubungan kerja yang ketat. Akibatnya, kesenjangan bukan hal yang tidak mungkin lagi terjadi, bahkan menjadi keniscayaan. Buruh-buruh tani sedikit demi sedikit tersita lapangan pekerjaannya karena pekerjaan sawah para pemilik tanah telah beralih pada pekerja-pekerja yang ditentukan oleh penebas sebagai salah satu pemilik modal yang memegang kendali. Disinilah letak perubahan sosial yang menjadi pokok pikiran penting itu.
Dalam perbincangan mengenai struktur sosial masyarakat, hal itu berarti telah terjadi perubahan tatanan sosial pada masyarakat Jawa pedesaan. Peran-peran yang dimiliki masing-masing anggotanya pun praktis berubah sebagai akibat dari masuknya sistem kapitalisme dalam dunia pertanian desa Jawa. Ya, muka yang satu tergantikan oleh muka kedua, topeng yang sebelumnya tergantikan oleh topeng berikutnya, egalitarisme tergantikan oleh diferensiasi. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini. apa saja. monggo.