“ANDE-ANDE LUMUT” Sebuah Dongeng Untuk Mengetahui Nilai Budaya Masyarakat (Folklore Sebagai Bahan untuk Penelitian Antropologi Psikologi)
Pendahuluan
Budaya setiap suku bangsa dapat diteliti melalui tujuh unsur kebudayaan (bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan tekonologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian) dan wujud kebudayaan (budaya sebagai tata kelakuan, budaya sebagai tindakan, dan hasil budaya).
Untuk meneliti tentang tata kelakuan suatu masyarakat, selain dengan mengkaji naskah-naskah yang telah ada, seorang antropologi haruslah meneliti langsung tata kelakuan dari suatu masyarakat yang bersangkutan. Cara yang kedua cenderung lebih susah karena banyak diantara tata kelakuan yang “terselubung”. Keadaan ini terutama berlaku bagi tata kelakuan yang berbentuk cita-cita, pandangan hidup, keyakinan, nilai budaya, dan sebagainya yang seringkali tidak dapat dirumuskan dengan jernih oleh pendukungnya sendiri tetapi harus dirumuskan oleh penelitinya dengan menggunakan metode analisis yang dikembangkan oleh para ahli psikologi atau psikoanalisis yang berupa tes-tes proyeksi dan sebagainya.
Bahan yang dapat digunakan untuk menganalisis tata kelakuan atau kepribadian atau psikologi suatu kolekif salah satunya adalah foklor. Hal ini dikarenakan folklor mengungkapkan kepada kita bagaimana masyarakat berpikir. Folklor sendiri menurut seorang antropolog kebangsaan China, James Danandjaya (1984) adalah bagian budaya dari berbagai kolektif di Indonesia, yang disebarkan secara turun-temurun di antara kolektif-kolektif yang ada di Nusantara, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Bentuknya sendiri bisa berupa bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, cerita prosa rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng, nyanyian rakyat, seni rupa dan seni lukis, musik rakyat, ataupun gerak isyarat.
Bentuk-bentuk folklor tersebut dapat dijadikan bahan untuk meneliti tata kelakuan suatu kolektif karena mereka memiliki fungsi-fungsi yang menurut Bascom (1965) terdapat empat macam fungsi, yaitu ; 1) sebagai sistem proyeksi; 2) sebagai alat pengesahan budaya; 3) sebagai alat pendidikan; dan 4) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma masyarakat dan pengendalian masyarakat.
Dalam artikel ini, penulis sengaja menghadirkan satu cerita rakyat dari Jawa yang bisa dijadikan bahan untuk mengetahui tata kelakuan yang ada dalam masyarakat Jawa, yaitu cerita “Ande-Ande Lumut” yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Di bawah ini ceritanya.
Pada suatu hari, di desa Dadapan hidup seorang janda yang bernama Mbok Randha Dhadhadapan. Dia memiliki tiga orang puteri cantik-cantik. Yang tertua bernama Kleting Abang, yang kedua bernama Kleting Ijo, dan si bungsa adalah Kleting Kuning. Entah apa sebabnya, Janda ini sangat membenci Putri bungsunya. Namun, Kleting Kuning bersikap sabar karena ia berwatak budi yang halus. Setiap hari Kleting Kuning harus mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti misalnya mencuci di sungai yang letaknya sangat jauh dari rumahnya, jika pakaiannya tidak bersih, Kleting Kuning akan dihina dan didera.
Pada suatu hari seperti biasa ia disuruh ibunya pergi ke sungai untuk mencuci pakaian dan perabotan dapur. Karena pekerjaan hari itu berat sekali, maka iapun menyesali nasibnya yang buruk, sambil berkata kepada para Dewa, “Oh Dewa! Apa yang telah saya perbuat sehingga harus menanggung penderitaan ini! Oh! Tolonglah saya! ”. Pada seketika itu, tiba-tiba terbang turun seekor bangau besar. Kleting Kuning sangat takut dan berniat lari, namun sang burung tiba-tiba berkata, “ Jangan takut, Kleting Kuning! Saya tidak akan mencelakaimu tapi saya akan menolongmu! ”. Kleting Kuning menjawab, “ Siapa engkau?”. “ Nanti akan saya jelaskan siapa diriku, namun sekarang biarkanlah dalulu saya membantu dalam menyelesaikan pekerjaanmu yang sangat banyak itu”, ujar sang bangau. Burung itu menyelesaikan pekerjaannya dengan sempurna dan Kleting Kuning sangat senang dan mengucapkan terima kasih sebelum pulang. Sejak itu Kleting Kuning selalu dibantu oleh sang burung.
Suatu saat terdengar kabar bahwa seorang pangeran bernama Ande-ande Lumut sedang mencari calon isteri. Telah banyak wanita yang menawarkan diri namun semuanya ditolak. Saat itu ibu janda menyuruh Kleting Abang dan Kleting Ijo untuk mengadu keberuntungan menawarkan diri kepada pangeran. Sedangkan Kleting Kuning dilarang ikut. Seketika itu Kleting Kuning menangis sedih.
Singkat cerita, Kleting Abang dan Kleting Ijo berangkat menuju keraton sang pangeran. Namun di tengah jalan mereka bertemu dengan sungai besar yang deras airnya. Mereka putus asa karena tidak dapat menyeberang. Seketika itu muncullah seekor yuyukangkang (ketam besar) dan menawarkan diri untuk membantu mereka. Namun dengan syarat mereka berdua harus bersedia dicium oleh yuyukangkang. Mereka berdua setuju.
Di tempat yang berbeda, burung bangau datang menghampiri Kleting Kuning yang sedang menangis dan menawarkan diri hendak membantu. Saat itu sang bangau baru mengakui bahwa dirinya adalah utusan para Dewa. Kedatangannya adalah untuk pamit kepada Kleting Kuning karena tugasnya telah selesai. Namun sebelum pergi, sang burung memberikan pusaka berupa sada lanang (lidi laki-laki sakti). Akhirnya Kleting Kuning berangkat ke keraton Ande-Ande Lumut dengan membawa pusaka itu. Di tengah perjalanan, ia juga bertemu dengan yuyukangkang dan sama seperti yang terjadi dengan kedua kakaknaya, yuyukangkang menawarkan diri untuk membantu dengan syarat sebuah ciuman. Kleting Kuning menjadi marah dan langsung menyabetkan sada lanang pada sungai dan, ajaib, sungai seketika itu langsung kering sehingga Kleting Kuning dapat menyeberang dengan mudah. Yuyukangkang berteriak minta ampun kepada Kleting Kuning dan Kleting Kuning merasa kasihan dan menyabetkan lagi pusakanya pada sungai sehingga air kembali berlimpah.
Di keraton, Kleting Abang dan Kleting Ijo telah sampai dan mereka diusir oleh pangeran karena mengetahui bahwa mereka telah dicium oleh yuyukangkang. Akhirnya mereka berdua pulang dengan wajah putus asa. Di tengah jalam mereka bertemu dengan Kleting Kuning dan menyuruhnya untuk pulang saja. Kleting Kuning menolak dan tetap melanjutkan perjalanannya sehingga kedua kakaknya menertawakannya.
Sesampainya di keraton, mula-mula Kleting Kuning diusir oleh ibunda pangeran karena dianggap sebagai pengemis. Namun Ande-Ande Lumut mencegahnya sambil berkata, “ Nah! Inilah orang yang saya dambakan siang dan malam ”. bahkan Ande-Ande Lumut menyuruh Kleting Kuning masuk ke dalam keraton untuk dimandikan dan diberikan pakaian bagus, serta didandani, sehingga merubahnya menjadi molek bagaikan seorang bidadari dari kahyangan.
Singkat cerita, pesta pernikahan kemudian diadakan salam 40 hari 40 malam secara mewah sekali. Randha Dhadhapan, Kleting Abang, dan Kleting Ijo juga diundang untuk menghadiri hajatan itu. Dan akhirnya, Kleting Kuning dan Pangeran Ande-Ande Lumut sejak saat itu hidup rukun bagaikan seekor belangkas jantan dan betina. Selesai.
***
Folklor Sebagai Bahan Penelitian Antropologi Psikologi
Terdapat beberapa metode dan atau pendekatan (paradigm, sudut pandang, kerangka teori, point of view) dengan bahan folklor untuk mempelajari sifat pembawaan manusia (human nature). Metode itu adalah product analysis dan thematic analysis. Product analysis adalah suatu proses mempelajari budaya material dari suatu kolektif untuk memperolah pengetahuan yang mendalam mengenai struktur kepribadiannya serta sifat-sifat emosi dari pendukungya. Analisis produksi ini melibatkan penelitian mengenai kegunaan dari bangunan-bangunan seperti rumah atau kereta dan lain-lain untuk menentukan nilai budaya yang mereka miliki, seperti yang terungkap dalam cara produk-produk tersebut dikerjakan. Thematic analysis adalah proses tentang penelitian mengenai mite, legenda, dan dongeng untuk mencari bukti-bukti mengenai kepribadian rata-rata (modal personality) dari kolektif yang mendukungnya (Honigmann: 1954). Pemanfaatn bahan Cerita rakyat “Ande-ande Lumut” adalah contoh penggunaan pendekatan ini untuk mengetahui tata kelakuan yang terdapat pada masyarakat jawa, lebih khusus lagi adalah masyarakat Jawa Timur.
Sedangkan menurut Victor Barnouw, terdapat tiga pendekatan untuk melakukan penelitian tata kelakuan atau psikologi masyarakat. Pendekatan pertama adalah penelitian penjajakan (exploration). Tujuan penelitian ini adalah secara umum adalah untuk membuktikan adanya motif oedipal complex dan motif Freudian lainnya. Pendekatan kedua adalah pendekatan yang bersifat lain terhadap folklor. Pendekatan ini menyangkut survei bentang sosial budaya (cross cultural surveys) dengan menggunakan sistem skoring dan korelasi statistik. Pendekatan ketiga dengan menggunakan folklor dalam rangka menghubungkannya dengan kepribadian suatu kolektif adalah penelitian yang menyangkut suatu analisis secara intensif atau kurang intensif mengenai folklor dari suatu masyarakat tertentu. Penelitian mendalam semacam ini dilandasi, sedikitnya secara implisit, oleh dua macam asumsi. Pertama, adalah tentang adanya struktrur kepribadian dasar atau rata-rata (basic or modal personality) yang khas dari budaya yang bersangkutan. Sedangkan yang kedua, adalah bahwa integrasi budaya berkecenderungan mengembangkan konsistensi tertentu dalam folklornya.
Menurut Danandjaja (1982), dongeng Jawa “Ande-Ande Lumut” yang penulis hadirkan diatas bertipekan cerita (taletype) Cinderella. Dalam dongeng itu terdapat hubungan antara isi dengan pandangan hidup atau nilai budaya orang jawa timur, yang menurut Clifford Geertz (1964) berdasarkan pada dua konsep dasar antara alus dan kasar. Alus berarti suci, halus, sopan, sempurna, mulia, dan beradab. Pola piker bipolar ini menimbulkan pengertian sebaliknya, yaitu bahwa kasar berarti kotor, sembrono, keras, jelek, kurang ajar dan tidak beradab. Untuk menjadi orang yang halus orang jawa harus berada dalam keadaan tenang, terutama dalam pikiran dan perasaan, dan untuk itu, mereka harus menjadi orang yang nrima, sabar, dan ikhlas dalam menghadapi kesukaran hidup. Orang yang tidak bisa bersikap seperti itu adalah orang yang kasar. Dalam dongeng “Ande-Ande Lumut”, tokoh Kleting Kuning adalah simbol dari konsep alus, sedangkan Randha Dhadhapan, Kleting Abang, dan Kleting Ijo adalah simbol dari konsep kasar. Orang-orang yang kasar oleh Geertz dianggap bukan jawa atau “ora njawani”.
Nilai budaya yang dianggap ideal oleh orang Jawa tradisional itu bukan saja termaktub dalam dongeng “Ande-Ande Lumut” melainkan juga ditekankan dalam bentuk wejangan oleh pembawa ceritanya setelah selesai menceritakan dongeng tersebut. Wejangan itu berbunyi, “wani ngalah, gede wekasane” yang berarti orang yang mengalah akan mendapatkan ganjaran yang baik. Di dalam dongeng tersebut, keribadian Kleting Kuning dilukiskan dalam kalimat, “ nanging dasar Kleting Kuning becik budine tur alus watake, Kleting Kuning nrima perlakuan kuwi mau kanti sabar”. Yang berarti, “namun, karena Kleting Kuning memiliki budi yang baik dan halus sifatnya, maka sifatnya yang sabar itu kemudian mendapatkan ganjaran yang baik dari para dewa”.
Namun demikian, menurut Barnouw, terdapat tiga macam keberatan yang dapat diajukan dalam rangka penggunaan bahan-bahan folklor untuk mempelajari tata kelakuan suatu kolektif. Pertama, folklor dapat mencerminkan pola budaya dan pola kepribadian dari tahap permulaan sejarah perkembangan suatu masyarakat dan bukan pada masa kini. Pada dongeng “Ande-Ande Lumut”, dongeng itu ada kemungkinan besar mencerminkan dari zaman sebelum PD II, dan bukan dari masa setelah kemerdekaan RI. Kedua, folklore, dapat tersebar secara luas dari suatu masyarakat ke masyarakat lain, yaitu dalam arti bukan milik pribumi. Dan ketiga, orang tak dapat mengatakan dengan pasti apakah suatu tema atau motif cerita tertentu mengungkapkan pola karakteristik dari dalam suatu budaya atau ia hanya membayangkan unsur-unsue keinginan (wish element) atau perilaku yang bertolak belakang dengan kecenderungan tak sadar yang kuat (reaction formations) belaka. Kelemahan yang ketiga ini dapat dicontohkan dari dongeng “sangkuriang” dimana tokohnya telah melakukan kawin incest dengan ibu kandungnya sendiri. Tema itu sudah tentu bukan karakteristk orang sunda sebagai pemilik folklor tersebut, melainkan suatu unsur keinginan terpendam yang bertipe-cerikan Oedipus complex yang menurtu Freud terdapat dalam alam bawah sadar yang direpresi oleh setiap orang pria dan disublimasikan antara lain dalam bentuk cerita rakyat. Dalam dongeng “Ande-Ande Lumut” pun demikian, bahwa cerita ditutup dengan pernikahan yang bahagia untuk selama-lamanya. Dalam kenyataannya, perkawinan antara dua orang laki-laki dan perempan belum tentu selalu mencapai keseimbangan, bahkan perkawinan merupakan jenjang awal dari tahap penyesuaian diri hidup bersama, yang seringkali lebih banyak konflik daripada tahap sebelumnya sebelum pernikahan.
Namun demikian, dengan adanya kelemahan seperti itu, bukan berarti folklor tidak lagi berfungsi dalam penelitian Antropologi Psikologi. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, kita dapat mengatakan bahwa cerita-cerita rakyat akan terus berkembang sesuai dengan tata kelakuan yang berkembang dalam masyarakat bersangkutan. Kedua, biarpun sebuah dongeng berasal dari luar daerah, pada akhirnya mereka akan menjadi milik kolektif yang meminjamnya setelah melalui proses adaptasi sehingga tidak jauh bertentangan dengan nilai budaya kolektif yang meminjamnya. Dan terakhir, kita dapat mengatakan bahwa kita dapat saja membedakan apakah tema/motif tertentu itu merefleksikan pola-pola karakteristik dari dalam satu budaya atau hanya membayangkan unsur keinginan apabila kita mengetahui konteks budaya kolektif pendukung folklor bersangkutan. Pentingnya pengetahuan mengenai konteks kebudayaan tak dapat disangkal lagi karena di dalam suatu folklor biasanya tidak berisikan semua keterangan lengkap mengenai latar belakang etnografisnya.
Dengan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa folklor yang berkembang dalam Nusantara dapat dijadikan sebagai bahan untuk penelitian Antropologi Psikologi yang memiliki tujuan untuk mengetahui secara mendalam mengenai tata kelakuan dan atau nilai budaya yang ada dalam benak masyarakat bersangkutan. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini. apa saja. monggo.