Manusia hidup di dunia ini tidak terlepas dari lingkaran-lingkaran yang terkadang seolah mencekal humanisme. Lingkaran apakah itu sehingga mampu mencekal humanisme? Nanti saja. Kita analisis dulu saja mengapa lingkaran tersebut bisa menjelma menjadi momok yang menakutkan. Dalam analisis saya, itu semua dapat terjadi karena adanya unsur profesionalisme namun samar. Saya katakan samar karena profesionalisme itu sendiri berat dilakukan ketika terbentur pada lingkaran itu sendiri.
Norma, norma adalah peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan, yang merupakan wujud nyata dari sistem nilai yang berada di tengah-tengah masyarakat. Atau bisa kita katakan normalah salah satu lingkaran itu. Ketika berada di tengah suatu masyarakat kita diikat oleh norma, kita dituntut untuk profesional dalam kehidupan berdampingan dengan norma. Norma mampu saja suatu ketika mencekal humanisme. Yaitu ketika terjadi suatu pelanggaran ataupun idiosinkratis, namun semuanya tahu pelanggaran tersebut bukan kita yang melakukannya, tapi orang lain yang tidak bertanggung jawab yang hanya menginginkan sepatatisme. Kita berpikir humanis, namun kita berpikir juga empiris positivisme. Disinilah profesionalitas dalam norma begitu berat dilakukan lebih-lebih jika norma tersebut adalah norma yang sangar mengikat, hukum misalnya. Perlu pola pemecahan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan itu. Bagaikan makan buah simalakama, sebuah dilema yang sangat besat kalau menurut saya. Lalu bagaimanakah solusinya? Saya juga belum berani mengatakannya, karena saya bukan siapa-siapa, saya hanyalah penulis tolol yang mencoba bicara. Sungguh persoalan yang sulit untuk ukuran orang seperti saya, walau saya cukup sedikit tahu kehidupan komunitas, ataupun organisasi.
Norma, norma adalah peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan, yang merupakan wujud nyata dari sistem nilai yang berada di tengah-tengah masyarakat. Atau bisa kita katakan normalah salah satu lingkaran itu. Ketika berada di tengah suatu masyarakat kita diikat oleh norma, kita dituntut untuk profesional dalam kehidupan berdampingan dengan norma. Norma mampu saja suatu ketika mencekal humanisme. Yaitu ketika terjadi suatu pelanggaran ataupun idiosinkratis, namun semuanya tahu pelanggaran tersebut bukan kita yang melakukannya, tapi orang lain yang tidak bertanggung jawab yang hanya menginginkan sepatatisme. Kita berpikir humanis, namun kita berpikir juga empiris positivisme. Disinilah profesionalitas dalam norma begitu berat dilakukan lebih-lebih jika norma tersebut adalah norma yang sangar mengikat, hukum misalnya. Perlu pola pemecahan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan itu. Bagaikan makan buah simalakama, sebuah dilema yang sangat besat kalau menurut saya. Lalu bagaimanakah solusinya? Saya juga belum berani mengatakannya, karena saya bukan siapa-siapa, saya hanyalah penulis tolol yang mencoba bicara. Sungguh persoalan yang sulit untuk ukuran orang seperti saya, walau saya cukup sedikit tahu kehidupan komunitas, ataupun organisasi.
Tapi, kenapa kita harus terjun ke dalam lingkaran yang sarat dengan kondisi-kondisi diatas? Karena hidup adalah pilihan. Setiap pilihan akan meninggalkan konsekuensi, baik kecil ataupun besar. Semakin besar konsekuensi yang dihadapi, maka semakin besar pula pembelajaran yang kita dapat. Perlu keputusan yang tegas dalam hal ini.
Karena kehidupan adalah pembelajaran. Saya yakin sekali, semakin banyak masalah yang kita hadapi, maka semakin pintar kita. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini. apa saja. monggo.