Petani Di Pedesaan Jawa
Masyarakat Jawa, sejak dulu kala memang masyarakat yang banyak menarik perhatian para ilmuwan untuk dikaji secara mendalam. Dari mulai religi, tatanan perekonomian masyarakatnya, hingga struktur sosial lainnya. Tak terkecuali tentu saja kajian tentang kehidupan berbudaya petani jawa yang menjadi basis komunitas masyarakat jawa dan budaya masyarakat jawa di perkotaan pada perkembangan berikutnya di mana masyarakat mulai banyak menerima unsur budaya asing yang lebih modern yang kemudian terbentuk dalam komunitas jawa perkotaan.
Hal itu tentu tak luput dari perhatian banyak ilmuwan untuk mengkaji. Mulai dari ilmuwan dari luar nusantara hingga ilmuwan pribumi sendiri. Koentjaraningrat (1984) telah meneguhkan perhatiannya ini pada sebuah buku yang berjudul “Kebudayaan Jawa” yang didalamnya dikaji secara mendalam mulai dari sejarah kebudayaan Jawa, Kebudayaan petani Jawa, kebudayaan Jawa di perkotaan, religi orang Jawa, dan klasifikasi simbolik dan orientasi nilai budaya orang Jawa. Namun demikian, dalam paper ini hanya akan saya tuliskan perihal dua bagian saja, yaitu kebudayaan petani Jawa dan kebudayaan orang Jawa di perkotaan, sebagai hasil dari review dari buku Koentjaraningrat di atas.
Dalam profil petani Jawa sendiri, dapat ditemuai kajian tentang sosialisasi dan enkulturasi dalam keluarga inti petani; pernikahan, rumah tangga dan keluarga inti; sistem jaringan kekerabatan orang Jawa di daerah pedesaan; pasar desa; pekerjaan dan mobilitas petani; perbedaan sosial ekonomi di desa, pemerintah desa dan himpunan-himpunan; serta adanya pola rekreasi dan kesenian rakyat. Sedangkan dalam bagian kebudayaan Jawa di perkotaan disajikan kajian mengenai Golongan-golongan sosial dalam masyarakat perkotaan; sosialisasi dan enkulturasi dalam keluarga inti priyayi; perkawinan, rumah tangga, dan keluarga inti orang priyayi; sistem kekerabatan orang jawa di kota; sistem pekerjaan golongan priyayi; dan pola rekreasi orang priyayi dan kehidupan kesenian di kota.
Berbicara tentang petani di pedesaan Jawa maka sama saja berbicara mengenai kemiskinan yang dialami masyarakat petani jawa. Saya katakan demikian, karena memilih menjadi petani di pedesaan jawa maka sama saja memilih menjadi orang yang miskin, termarginalkan, dan selalu kalah dalam tantangan kehidupan perekonomian. Karakter petani jawa adalah petani yang bercirikan subsisten, artinya, kegiatan pertanian hanya diarahkan dan diupayakan untuk mencukupi kebutuhan primer keluarganya sendiri saja. Tak ada upaya untuk menjadikan kegiatan pertanian sebagai basis ekonomi yang kuat yang dapat menopang kehidupan banyak orang. Tak ada keinginan untuk menjadikan pertanian sebagai ladang bisnis yang menghasilkan banyak laba. Asal beras dapat dimakan oleh satu keluarga, itu sudah cukup bagi petani jawa. Maka pantas saja jika kemudian petani jawa secara strata ekonomi tergolong pada golongan yang rendah. Karena tak ada penghasilan yang dapat diakumulasi demi kekayaan pribadi. Kalaupun terdapat pasar desa yang menjadi wadah petani jawa untuk melakukan jual beli hasil pertanian, akan tetapi kegiatan itu belum menjadi sistem perekonomian sendiri yang mandiri yang mampu mengangkat perekonomian masyarakat petani di pedesaan Jawa. Pasar desa itu sendiri biasanya diadakan satu minggu sekali dengan memberikan nama pasaran sesuai penanggalan Jawa, seperti pasar pon, pasar kliwon, pasar wage, dan lain lain.
Lebih dari itu, tidak semua petani di Jawa memiliki sawah atau ladang. Dari mereka ada yang memiliki sendiri tanahnya, ada pula yang menyewa. Sehingga praktis hal ini menciptakan stratifikasi sosial tersendiri yang didasari oleh sistem ekonomi tersebut. Selain faktor ekonomi, Lebih jauh lagi pengklasifikasian yang terbentuk adalah berdasarkakan sistem pemerintahan dan himpunan himpunan. Paling tidak terdapat 5 strata dalam hal ini, yaitu 1) para pendatang yang tidak mempunyai tanah yang disebut dengan pondok, 2) penduduk yang tidak mempunyai tanah selain yang digunakan untuk rumah dan pekarangan yang disebut dengan lindung, 3) para pemilik tanah atau kuli, 4) para keturunan penduduk desa yang tetua dan 5) para anggota pamong desa (perabot dusun) dan golongan penduduk yang terpisah yaitu santri. Himpunan-himpunan untuk berbagai keperluan ada pada masyarakat desa yaitu himpunan ekonomi, keagamaan, pendidikan , dan perkumpulan-perkumpulan rekreasi kesenian. Rekreasi biasanya dapat ditemui jika terdapat warga yang melangsungkan hajatan seperti pernikahan, khitanan, dan atau selamatan.
Selain itu, terdapat hal yang menarik pada karakteristik petani di Jawa, yaitu adanya keluarga sebagai unit kerja. Keluarga dalam kehidupan mereka tak hanya berfungsi sebagai satuan organisasi terkecil dalam masyarakat saja, namun juga berfungsi sebagai satuan kerja. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa kegiatan pertanian di pedesaan Jawa sering kali dilakukan bersama sama dalam satu keluarga. Seorang petani yang memiliki sebidang tanah misalnya, maka ia akan dibantu anaknya dalam pengolahan tanahnya, dan orang tua perempuan serta anak perempuan akan membantu dalam hal yang lain, misalnya mengeringkan padi ketika panen tiba. Oleh karena itulah, anak menjadi aset berharga dalam masyarakata petani jawa. Kepercayaan akan “banyak anak banyak rejeki” masih kental. Anak adalah sumber rejeki dan sumber kedamaian bagi petani jawa serta akan menjadi jaminan di hari tua nantinya. Hal ini pun kemudian dikuatkan oleh filosofi “mangan ora mangan sing penting kumpul” yang kemudian semakin membuat kehangatan dalam keluarga. Pantas lah kiranya jika hal demikian dapat menjadi salah satu penghambat sulitnya Program Keluarga Berencana diterima oleh masyarakat petani di pedesaan jawa.
Dalam proses sosialisasi dan enkulturasi, ibu lah yang menjadi garda terdepan dalam penanaman nilai nilai kejawaan. Ibu lah yang memiliki peran terbesar dalam pola pengasuhan anak. Prosesnya pun tak lepas dari banyak ritual seperti mitoni, pemberian nama sesuai status sosial, dan akan selalu dilekatkan dengan weton. Anak anak pada masyarakat petani jawa selalu dididik melalui pola pengasuhan anak yang menjadikan mereka memiliki nilai nilai kejawaan seperti wedi, isin, sungkan. Dalam imaginasi saya sendiri, nilai nilai inilah yang menjadi akar maraknya budaya feodal karena diletakkan pada kondisi yang tak tepat.
Masyarakat Jawa Perkotaan
Dalam hal nilai nilai kejawaan, sebenarnya tak ada perbedaan yang jauh dan mencolok yang membedakan antara masyarakat petani jawa dan masyarakat jawa di kota. Perbedaan yang disajikan lebih pada kecenderungan berperilaku yang membedakan keduanya. Secara sederhana saya katakan, jika dalam bagian pertama diatas berkutat seputar petani jawa, maka berbicara masyarakat jawa di perkotaan akan berkutat banyak pada kehidupan golongan jawa priyayi yang memang banyak tinggal di daerah perkotaan dari pada di pedesaan. Pola penataan wilayah jelas sekali berbeda dengan di desa. Di kota kota jawa, pusat pemerintahan selalu ditandai dengan adanya lapangan besar yang kemudian disebut alun-alun. Wilayah terdekat dengan pusat ini dipenuhi dengan pusat pusat pemerintahan seperti perkantoran dan pemukiman orang orang priyayi. Semakin ke pinggir dari pusat pemerintahan maka semakin mendekati dengan kebudayaan pedesaan. Dengan kata lain saya katakan, pemetaan wilayah secara demikian juga melambangkan adanya stratifikasi sosial yang beragam pada masyarakat jawa.
Tidak berbeda pada masyarakat petani desa, keberadaan anak pada masyarakat jawa perkotaan juga sangat penting. Banyak anak dianggap berkah yang tak terkira harganya. Ritual ritual yang ada pun tidak berbeda, hanya saja, dalam proses prosesnya itu masyarakat di perkotaan sudah mulai menggunakan fasilitas fasilitas yang sudah modern seperti adanya klinik kesehatan serta lembaga pendidikan formal warisan belanda dalam proses pendidikan di luar pendidikan informal dalam keluarga dan nonformal dalam masyarakat. Lebih dari itu, keberadaan anak perempuan memiliki gengsi yang lebih ketimbang anak laki laki karena mereka lah yang menjadi simbol kehormatan keluarga priyayi. Dalam hal kemandirian, anak anak keluarga petani desa memiliki kemandirian yang lebih dibandingkan anak anak keluarga priyayi pada jawa perkotaan. Hal ini disebabkan banyaknya anak anak priyayi yang diasuh oleh seorang embok emban, yaitu orang yang dibayar untuk jasanya membantu dalam mengasuh anak. Hal ini menyebabkan anak anak pada keluarga priyayi cenderung manja dan kurang mandiri.
Dalam urusan perkawinan, terdapat cara yang ditempuh oleh keluarga priyayi yang bertautan dengan aset kekayaan. Cara yang dipilih cenderung menikahkan anak anak pada mereka yang masih terikat ikatan kerabat. Hal ini dilakukan agar akumulasi kekayaan priyayi tidak jatuh pada orang lain dan masih berada dalam kerabat sendiri. Bagaimanapun juga, sistem pekerjaan orang priyayi di jawa perkotaan lebih menjamin seseorang dalam mengakumulasi modal sehingga tingkat kesejahteraan orang priyayi lebih terjamin dengan basis ekonomi pada sektor pemerintahan dan pegawai pegawai swasta lainnya.
Demikianlah kiranya paper yang dapat saya sajikan sebagai hasil review dari buku “Kebudayaan Jawa” yang ditulis oleh Koentjaraningrat khususnya pada bagian petani jawa dan jawa perkotaan. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini. apa saja. monggo.