“Kiai Muchit dari Jember. Ia seorang ulama ‘tradisional’ yang mahir berpikir ‘modern’, misalnya berbicara real politics, menjadi anggota DPRD, berhubungan dengan bupati, dan menjadi dosen di sebuah universitas setempat. Ia mungkin tipe ulama-intelek, yang komitmennya tercurah pada perjuangan meratakan pesan perbaikan moral pribadi. Ia disebut lebih realistis, lebih ade, dari intelek-ulama, yakni sarjana dalam bidang non-agama, tetapi mengajarkan agama dengan militansi yang menakutkan ber-wajah- ‘garang’. Kiai Muchit memberi pelajaran, orang harus giat menampakkan keberanian moral, termasuk melawan segenap kesalahan meskipun itu dilakukan umatnya sendiri. Implikasinya, ia pun rela dihujani caci maki umatnya. Bahkan ia diberi tuduhan buruk: membela pemerintah. Persoalannya yang melatarbelakangi adalah: saat aksi sepihak PKI dilancarkan, ia malah menentang kiai-kiai yang tidak mau menerima UU tentang pembatasan hak milik pribadi. Para kiai menyampaikan argumen bahwa dalam mazhab Syafi’i yang kita anut, tidak ada perkara pembatasa hak milik pribadi. ‘tapi, bukankah ada larangan memperoleh hak milik secara tidak halal? Dapatkan sampeyan membuktikan bahwa, misalnya, 50 hektar tanah milik petani kaya itu diperoleh dengan cara halal?’ kata Kiai Muchit. ‘bukankah si kaya merampas si miskin yang tak mampu menebus sawahnya yang tergadai?’ Orang pun marah kepadanya. Tuduhan membela pemerintah itu bukan cuma menempatkannya dalam posisi tak nyaman, melainkan juga buruk, sangat buruk, terutama dalam kurun orde baru. Di saat pemerintah memperlihatkan cengkraman kuku-kukunya yang tajam ke seluruh sektor kehidupan rakyat, dan karena itu rakyat kelihatan –hampir dalam semua hal- tak berdaya menghadapi kekuasaan yang cenderung tidak adil, membela pemerintah dianggap dosa politik yang tak berampun. Membela pemerintah dinilai lebih dari sekedar pengecut. Dalam konteks ini, Kiai Muchit memang bersedia mempertaruhkan kredibilitasnya. Ia rela kehilangan kepercayaan umatnya sendiri. Baginya, mungkin, ada sikap politik yang tak perlu dijelaskan kepada umat. Dan tebusannya mahal sekali: ia berani mengambil resiko menjadi korban umpatan massa.”
******
Ilustrasi diatas saya kutip dari tulisan Gus Dur berjudul “Kiai nyentrik membela pemerintah” yang dimuat koran Tempo (5 April 1980) yang kemudian oleh sebagian orang tulisan-tulisan Gus Dur yang senada dengan itu dinamai sebagai “Antropologi Kiai”. Essai di ataslah yang akan mengantarkan saya pada pembahasan dengan tema besar ‘Kebudayaan dan Politik’ yang mulai dibahas oleh banyak Antropolog pasca 1940-an dalam bingkai ilmu Antropologi Politik yang sebagian mengambil fokus kajian pada peran para ‘perantara politik’ atau bahkan ‘makelar budaya’ yang menjembatani jurang antara ‘dunia luar’ dengan ’masyarakat tribal’, dalam konteks ini saya ambil contoh ‘Kiai’ seperti yang dikatakan Geerts dan Turmudzi, dimana kiai disini menjadi sosok pemimpin bercirikan tradisional.
Dalam frame Antropologi politik, organisasi kepemimpinan, pemerintahan dan kekuasaan yang dimiliki kiai termasuk pada kategori kekuasaan pemimpin tradisional. Pemimpin jenis ini memiliki syarat-syarat yang berbeda dengan tipe pemimpin modern atau kekinian. Koentjaraningrat menjelaskan dengan sistematis hal ini dalam bukunya berjudul “Sejarah Teori Antropologi II”. Yakni bahwa kiai dalam konteks ini sebagai pemimpin tradisional harus memiliki kharisma yang oleh masyarakat disimbolkan dengan kepemilikan atau penguasaan mendalam pada wahyu-wahyu Tuhan. Syarat kedua adalah keabsahan kiai yang oleh masyarakat diwujudkan dalam kepemilikan kekuatan sakti, mempunyai keturunan –darah biru- kiai, mampu melaksanakan ritual-ritual keagamaan dan memiliki pusaka-pusaka keramat. Hal berikutnya yang harus dimiliki kiai adalah kewibawaan yang digambarkan memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan sebagian besar warga masyarakat. Selain itu, seorang kiai harus mampu mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar suatu sistem sanksi.
Yang menjadi penekanan dalam essai ini adalah bahwa sosok kiai –kiai dalam essai ini merujuk pada kiai-kiai Nahdliyin- adalah sosok yang berperan dalam menjembatani komunikasi umatnya dengan dunia luar. Terlepas dari dapat diterima atau tidaknya dan dapat dimengerti atau tidaknya langkah langkah kiai dalam upayanya dalam menjembatani. Seperti ilustrasi di atas. Di mana kiai muchit berupaya mengambil langkah komunikasi dengan pemerintah demi kepentingan umatnya. Meskipun pada konteks itu, tidak banyak umatnya yang dapat memahami langkah politisnya. Hal serupa juga kita temukan terjadi pada sosok Gus Dur, yang sering kali berseberang dengan mayoritas Ulama di Indonesia. Ia sempat dan bahkan sering kali menjadi sosok kontroversi dalam banyak persoalan keumatan. Jangankan umatnya yang ‘awam’, para kiai dan intelek yang ‘pintar’ sekalipun, sering kali dibuat ‘bingung’ dan ‘gerah’ dalam langkah yang diambilnya. Tapi apa yang terjadi pada umat di lapisan bawah sungguh diluar dugaan, apapun yang dilakukan Gus Dur, tetap saja mendapat banyak dukungan dan pengaminan dari warganya, dalam konteks ini tentu saja warga Nahdliyin, karena memang Gus Dur tak bisa dilepaskan dari struktural maupun kultural organisasi kaum sarungan itu, Nahdlatul Ulama. Ini membuktikan bahwa, kiai memang bisa berperan sebagai jembatan jembatan banyak jurang antara umat dengan dunia luar. Meskipun dalam prosesnya mengalami banyak kompleksitas dan dinamika. Barulah belakangan hari, Justru pasca wafatnya Gus Dur, banyak Kiai dan intelek seakan baru sadar dalam melihat sosok Gus Dur, dalam konteks ini tentu saja berhubungan dengan sosoknya sebagai kiai dan sekaligus pemimpin tradisional, terlepas dari sosoknya yang pernah menjadi presiden RI ke-4.
Studi-Studi Tentang Kiai
Hampir semua studi tentang kiai yang dilakukan para sarjana asing maupun dalam negeri terfokus pada kiai-kiai pesantren atau Nahdlatul Ulama (NU) secara umum. Masih jarang ditemui studi yang secara khusus membahas peran kiai kampung, kiai yang mengasuh sebuah mushalla atau langgar, atau masjid. Penting dicatat disini bahwa studi-studi tentang kiai pesantren itupun dikatakan sangat terlambat, karena baru marak pasca 1980-an. Sebelum dasawarsa itu, kiai merupakan elit yang tidak diminati oleh para akademisi karena dianggap sebagai kelompok yang menghambat perkembangan dan pembangunan masyarakat. Secara politik kiai dianggap naif dan oportunis, secara administratif kiai dianggap tidak mumpuni dan lemah. Para ahli lebih tertarik dengan tokoh-tokoh dan gerakan ‘modern’ dalam islam seperti Muhammadiyah dah Masyumi.
Namun pada dekadi 1980-an, minat dan penelitian terhadap kiai, pesantren dan NU meningkat tajam. Hal ini setidaknya disebabkan dua faktor. Pertama, munculnya kritik dari Benedict R. O’G Anderson (1977), seorang ahli Indonesia dari Amerika Serikat, yang menyayangkan sedikitnya pengetahuan kaum akademisi tentang NU (dimana kiai menjadi bagian penting di dalamnya), padahal di sisi lain, NU merupakan kekuatan sosial, kultural, keagamaan, dan politik yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun. Kedua, masuk dan munculnya Abdurrahman Wahid sejak tahun 1970-an ke dalam kajian-kajian dan diskusi tentang Islam di Indonesia dengan mengenalkan NU menurut pandangan ‘orang dalam’.
Kiai Kampung
Keberadaan kiai kampung merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan politik yang sedang dibangun bangsa ini. Istilah ‘kiai kampung’ adalah kata yang digunakan untuk menunjuk salah satu dari dua macam kiai yang ada dalam masyarakat kita, selain ada kiai sepuh dan sebangsanya, yaitu mereka yang menjadi pengasuh pesantren-pesantren besar seperti Lirboyo, Langitan, Tebuireng dan sebagainya.
Kiai kampung seringkali dihadapkan kepada ‘keharusan’ menghadapi penilaian-penilaian oleh kiai-kiai di level lebih atas tentang keadaan yang dihadapi. Tetapi mereka juga harus mendengarkan pendapat orang-orang pinggiran, rakyat kecil, maupun pihak-pihak lain yang tidak masuk ke lingkaran kekuasaan. Dalam suasana adanya keadaan-keadaan yang saling bertentangan itu, kiai kampung lebih sering mendengar pendapat mereka yang berada di luar lingkar kekuasaan itu. Sudah tentu ini merupakan pola hubungan timbal balik yang sehat antara para kiai kampung dan rakyat yang mereka pimpin.
Peran Kiai Kampung dalam Kehidupan Pedesaan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kiai kampung adalah kiai yang menjadi pengasuh mushalla atau masjid (meski tidak semua kiai kampung pasti mengasuh sebuah mushalla) yang menjadi pusat pendidikan agama Islam dan sekaligus penanaman nilai-nilai kepada anak-anak dan remaja di desa bersangkutan. Dengan perkataan lain, kiai kampung berperan sebagai penjaga transmisi pengetahuan agama secara turun-temurun dan sekaligus memegang fungsi kepemimpinan simbolik.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat, peran kiai kampung juga mengalami perubahan dan pergeseran. Namun pergeseran itu tidak mengalami perubahan secara radikal fungsi-fungsi dasarnya di tengah kehidupan masyarakat desa yang terus berjalan dinamis sampai saat ini. Pengetahuan agamanya yang bersifat praktis ditempa dengan pergulatan hidupnya berhadapan langsung dengan berbagai persoalan masyarakat membuat sikap politik dan keagamaannya tidak pernah reaksioner, apalagi negatif. Setiap persoalan tidak hanya dilihat secara normatif dalam perspektif fiqih, tetapi juga dengan kebijaksanaan agar kreativitas dan perubahan tidak dinilai secara hitam-putih dan diposisikan secara berhadapan dengan keadaan yang sudah berjalan selama ini.
M. Hanif Dhakiri (2007) menuliskan, Secara umum, peran kiai kampung dalam kehidupan masyarakat desa dapat dideskripsikan sebagai berikut.
a. Pendidik Agama
Kiai merupakan padanan dari kata ulama. Karena itu, tugas dasar kiai adalah mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat. Pendidikan agama tidak semata-mata mengajarkan agama kepada umat, tetapi juga menginternalisasikannya ke dalam kehidupan kiai itu sendiri sehingga apa yang diajarkan atau diucapkan untuk orang lain juga dilakukan untuk dirinya sendiri.
b. Penjaga Moral
Sebagai pendidik agama, kiai kampung otomatis menjadi penjaga moral masyarakat pedesaan. Keberadaannya yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan mengharuskannya berperilaku sebagai penjaga moral dan berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral.
c. Ahli Hikmah
Beberapa kiai kampung juga menjadi tokoh lokal yang menonjol karena dianggap mempunya kelebihan dalam hal ilmu hikmah yang berfungsi membantu masyarakat dalam menghadapi atau menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Misalnya ada orang tua yang anaknya selalu menangis pada malam hari dan karenanya orang tuanya menjadi begadang sepanjang malam. Si orang tua kemudian meminta doa kepada kiai kampung untuk membantu agar anaknya tidak menangis terus di malam hari. Si kiai kemudian memberikan beberapa doa atau shalawat dan meminta orang tua anak agar membacanya ketika anak sudah waktunya tidur.
d. Pemimpin Komunitas
Sebagai pendidik agama Islam, penjaga moral masyarakat dan tempat masyarakat meminta bantuan tentang berbagai persoalan kehidupannya, kiai kampung menjadi semacam rujukan bagi masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Disadari atau tidak dengan fungsi itu, kiai kampung bisa dikatakan sebagai pemimpin komunitas yang terpilih secara ilmiah. Seorang kiai kampung menjadi pemimpin tanpa rekayasa politik dan masyarakat menerima kepemimpinannya dengan sukarela.
e. Pembimbing untuk Perubahan
Kiai kampung juga berperan sebagai pemandu utama masyarakat menghadapi dan melaksanakan perubahan. Salah satu kelebihan kiai kampung adalah sifat pengajarannya yang menyeluruh meliputi semua aspek kehidupan praktis masyarakat dan pengkayaan ruang batinnya dengan nilai-nilai dan karakter yang dianjurkannya. Kecenderungan demikian menjadikan kiai kampung memiliki peran penting dalam setiap perubahan masyarakat.
Peran Kiai dalam Kehidupan Politik
Di Indonesia, peran kiai dan ulama dalam politik juga cukup signifikan. Geertz mencatat bahwa para kiai tidak saja berperan sebagai agen kebudayaan, akan tetapi dalam perkembangannya mereka memainkan peran yang signifikan sebagai pemimpin-pemimpin politik. Dalam kehidupan politik praksis misalnya, akan mudah kita temukan kiai-kiai yang berperan menjadi Juru kampanye untuk sebuah partai politik. Dengan ajakan dan fatwa politik yang mereka sampaikan, para kiai berhasil para jamaah di pesantren-pesantren mereka dan lapisan komunitas di sekitar pesantren-pesantren untuk memberikan suara mereka pada partai tersebut. Ajakan dan fatwa politik yang diserukan oleh para kiai dan ulama pesantren itu menjadi faktor penentu bagi peningkatan perolehan suara partai politik dalam pemilu. Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa peranan para kiai dan ulama dalam kampanye politik untuk meningkatkan perolehan suara dalam konteks pemilu di Indonesia adalah sangat penting dan strategis.
Para kiai dan ulama adalah pemimpin nonformal sekaligus berperan sebagai sosok pemimpin spiritual, dan posisi mereka sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. Sebagai pemimpin masyarakat, para kiai dan ulama mempunyai jamaah, komunitas dan massa yang diikat oleh hubungan keguyuban yang erat. Petuah-petuah mereka akan selalu didengar, diikuti dan dilaksanakan oleh para jamaah, komunitas dan massa yang dipimpinnya.
Penutup
Apa yang telah dibahas dalam essai ini paling tidak telah mencoba memaparkan bagaimana sosok kiai dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimanapun, kiai dalam masyarakat kita masih menjadi sosok pimpinan sejati yang begitu dianut warganya. Bahkan dikeramatkan. Ini kenyataan yang belum cukup bisa dibantah. Dengan mencermatinya, kita bisa melihat bagaimana kiai berperan untuk menjadi ‘jembatan’ dalam komunikasi politik dengan penguasa tanpa menghilangkan sosoknya sebagai agen budaya. Sekian.
Daftar Bacaan
Dzakiri, M. Hanif. 2007. Kiai Kampung dan Demokrasi lokal. Klik R: Yogyakarta
Ismail, Faisal. 1999. NU, Gus Durisme dan Politik Kiai. Tiara wacana:Yogyakarta
Koentjaraningrat. 1990. Sejarah teori antropologi II. UI Press: Jakarta.
Wahid,Abdurrahman.1997.Kiai nyentrik membela pemerintah. LKIS: Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini. apa saja. monggo.