Pages

SANTRI VERSUS ABANGAN: Suatu Review

Bias Jarak Muhammad dengan Tradisi Keagamaan Umat Islam Indonesia

Dalam menulis buku “Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa” khususnya sub pokok bahasan perbedaan antara santri dan abangan ini, Geertz memberikan deskripsinya secara umum tentang islam. Menurutnya, islam adalah ethical prophecy atau sebuah agama kenabian etis. Umat islam meyakini ajaran islam dengan perantara serangkaian nabi yang ditutup oleh Muhammad. Ia juga mengatakan bahwa jarak antara Muhammad dan tradisi keagamaan saat itu sangatlah panjang hingga telah mengalami perubahan-perubahan. Sepeninggal Muhammad, generasi berikutnya membaca ajaran Muhammad dari intepretasi orang-orang setelah Muhammad. Geertz mengatakan, “para pengikutnya sekarang tidak lagi hidup dalam gilang gemilangnya inovasi keagamaan seperti dulu, tetapi lebih di dalam sinar ortodoksi doktrinal yang agak suram, karena, sebagaimana juga dalam agama Kristen, sejumlah besar doktor-doktor terpelajar- kaum ulama (mereka yang aktif)- mengerubungi inti asli Islam dan menyelimutinya dengan konstruksi doktrin dan hukum, penafsiran dan kodifikasi yang telah disusun rapi.”Pada intinya pokok ajaran yang dibawa Muhammad adalah monoteisme. Pengakuan hanya ada satu Tuhan yaitu Allah. Dalam tulisannya itu, Geertz juga menjabarkan kelima rukun islam yaitu Syahadat, sholat lima waktu, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu.

            Dengan menjadikan Quran dan Hadist sebagai landasan fundamental, para ulama menyusun syariat dan hukum diatas dua dasar itu. Hal ini terjadi karena memang Quran dan Hadist lebih banyak menyinggung garis besar saja, tidak sampai pada detail. Suatu kodifikasi perundang-undangan yang rumit yang meliputi hampir setiap bidang kehidupan sosial, tetapi dengan titik pusat dan penekanan pada urusan-urusan dalam. Bagi umat islam, itu telah menjadi hukum. Kemudian, dari banyak intepretasi syariat berdasarkan Quran dan Hadist itu, muncullah kristalisasi empat mazhab ortodoks yang semuanya dianggap benar dan sah. Menurut Geertz, lebih dari 90 persen penduduk Jawa mengaku sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah mazhab Imam Syafi’i selama empat abad. Tapi hanya sebagian kecil saja yang begitu memahaminya. Itupun belakangan. Minoritas itulah yang disebut santri oleh Geertz.  Minoritas inilah yang kemudian juga bertentangan dengan kalangan penganut islam sinkretis Sunan Kali Jaga. Mencampurkan ajaran islam dengan budaya-budaya Jawa terdahulu yang telah dipengaruhi animisme dan dinamisme.

Perkembangan Islam di Indonesia

Menurut Snouck Hurgronje, seorang sarjana Islam Belanda, orang Islam Indonesia - pada tahun 1892 saat ia melakukan penelitian di Jawa – adalah orang-orang yang telah terlena dengan rukun-rukun yang lain sehingga lupa dengan rukun Islamnya. Tiang-tiang rukun Islam telah bergeser dan berganti fungsi. Orang Islam Indonesia menyerah dalam sikap yang murni formal dalam penghormatan terhadap lembaga-lembaga yang diperintahkan oleh Allah, yang dimana-mana diterima dengan tulus dalam teori tetapi dilaksanakan secara menyimpang dalam praktek. Dua puluh tahun setelah Hurgronje menulis- pada tahun 1912- Muhammadiyah lahir. Organisasi ini adalah perkumpulan para modernis Islam yang didirikan di pusat dan klimaks kultur Hindu-Jawa, Yogyakarta. Organisasi ini mengajak kaum Muslimin untuk sadar diri dalam cakrawala sosial Indonesia, yakni orang-orang yang tidak hanya cinta kepada agamanya dalam teori saja, tetapi juga merasa terikat dalam praktek. Masa inilah yang oleh orang Jawa disebut “masa pergerakan”.

            Pada awalnya Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang-pedangang dari Gujarat, India. Walaupun Islam menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia, tetapi Islam di Indonesia telah terputus dari pusat pancarannya di timur tengah, Mekkah dan Kairo. Akibatnya, umat Islam di Indonesia tetap saja banyak dipengaruhi oleh kultur Hindu-Jawa.

             Barulah pada menjelang pertengahan abad sembilan belas isolasi Islam Indonesia dari timur tengah itu mulai pecah dengan datang pedagang-pedagang Islam dari ujung selatan Semenanjung Arab, Hadramaut. Mereka menyiarkan pengertian ortodoksi mereka yang bagus kepada para pedangang setempat yang terikat hubungan perdagangan dengan mereka. Namun demikian, arus ke arah ortodoksi dalam fase ini adalah lambat. Persaudaraan keagamaan diwarnai secara mistis dimana diperolah suatu kompromi tertentu dengan kaum abangan di satu pihak.

            Dengan didirikannya Muhammadiyah telah membangunkan gerakan-gerakan konservatif untuk melawan apa yang mereka anggap penyimpangan yang berbahaya dari doktrin Islam zaman pertengahan.

Santri Versus Abangan: Perbedaan Umum

Dalam melakukan penelitiannya mengenai Islam Indonesia khususnya di Jawa ini, akhirnya Geertz memperolah dua perbedaan yang sangat mencolok dari santri dan abangan. Ia mengatakan bahwa kaum abangan sangat tidak mempedulikan doktrin-doktrin agama dan lebih senang melarutkan diri dalam detail ritual. Sedangkan santri sebaliknya menjadikan doktrin sebagai pegangan utama dalam kehidupan dan memberikan sikap yang tak toleran secara tegas kepada praktik keuparacaan. Peribadatan, bagi santri adalah hal sederhana saja, yang terpenting menurut merekan adalah doktrin Islam, terutama sekali penafsiran moral dan sosialnya. Kaum santri di perkotaan nampaknya sangat tertarik untuk menjadikan doktrin Islam sebagai kode etik yang lebih tinggi bagi orang modern, sebagai doktrin sosial yang cocok untuk masyarakat modern. Santri di pedesaan, walaupun tidak seekstrem santri di perkotaan, tetap saja memiliki sikap sama. Betapapun kaburnya. Kaum abangan beranggapan sikap mereka tidak jauh berbeda dengan para ahli etnologi pecinta budaya yang mengumpulkan adat tua tentang penyembahan berhala. Kaum santri menanggapinya justru dengan titik berat yang kuat pada keharusan iman dan keyakinan yang tanpa reserve terhadap kebenaran mutlak agama islam serta menentang dengan tegas praktek kejawen.

            Perbedaan kedua yang tampak jelas antara varian keagamaan abangan dan santri terletak dalam kesatuan sosialnya. Unit sosial yang yang paling dasar bagi abangan adalah rumah tanggan. Dalam unit sosial itulah tempat ritual peribadatan dilakukan. Bahkan dalam acara bersih desa yang merupakan acara publik pun, rumah tanggan tetap yang terutama. Penganan yang disajikan dalam acara itu diperoleh dari masing-masing daput setiap rumah tangga yang dijadikan satu. Bukan dihasilkan dari satu dapur yang diolah bersama-sama. Tidak ada hal lain dalam acara publik itu, kecuali keharusan datang dengan membawa penganan dari dapur sendiri. tidak ada perkauman keagamaan yang organis. Yang ada hanya serangkaian rumah terpisah yang dirangkai satu sama yang lain dan menjadi kauman bersama tanpa sekat, dan harmoni mereka bertahan sejak semula dengan satu tradisi tunggal.

            Sebaliknya, rasa perkauman –terhadap umat- dalam masyarakat santri adalah yang utama. Unit sosial mereka adalah komunitas. Lebih besar dari sekedar rumah tangga. Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran sosial yang konsentris serta terikat dalam doktrin agama. Semua manusia di Mata Tuhan adalah sama dan sederajat. Terdapat jurang pemisah yang mutlak untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan dan oleh karena itu hanya terbatas pada kitab dari para Nabi, dan khususnya dari Quran dan Hadist. Untuk mengenal Tuhan, kaum santri mengikatkan diri menjadi suatu kaum menurut hukum, yang ditentukan oleh ketaatannya kepada serangkaian hukum objektif yang didasarkan atas wahyu Allah yang telah dipertimbangkan kesesuaiannya untuk dikomunikasikan kepada manusia. Tak ada seorangpun yang nampak lebih tinggi derajat keagamaannya, tetapi terdapat guru ataupun mereka yang memiliki lebih banyak ilmu. Hukum adat yang lebih fleksibel dalam praktek cenderung lebih menarik bagi abangan maupun santri. Namun demikian, santri memiliki gambaran yang riil tentang suatu masyarakat nyata yang diatur oleh sistem hukum objektif.

            Adanya perhatian terhadap masyarakat ini yang menunjukkan bahwa selain ketertarikan santri akan doktrin, mereka tak pernah memandang bahwa agama hanya urusan kepercayaan saja. Atau semacam filsafat. Sebaliknya mereka senantiasa memahami Islam sebagai agama yang dilembagakan  dalam kelompok sosial. Berbicara akan Islam berarti berbicara tentang organisasi sosial dimana kepercayaan Islam menjadi elemen yang mendasari dan menentukannya.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

wah.. trimakasih buat tulisannya, saya jadi punya referensi :)

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda disini. apa saja. monggo.