Suatu review atas tulisan “keterpinggiran, kekuasaan, dan produksi: analisis terhadap transformasi daerah pedalaman (tulisan Murray Li)”
Tarian kekuasaan atas keterpinggiran
Daerah pinggiran, yang dalam terminologi masa sekarang ini lebih populer dengan sebutan daerah tertinggal tidak serta merta ada dan terlahir dengan sendirinya, lebih dari itu, ia lahir dan tumbuh sebagai implikasi dari kesatuan sistem kekuasaan yang mengabaikannya. Jadi, mungkin tidak berlebihan jika mereka dikatakan sebagai daerah yang ditinggal, bukan daerah tertinggal. Karena faktanya, daerah-daerah pinggiran itu memang luput dari perhatian pembangunan. Minimal, mereka diperhatikan, namun proporsinya tidak seimbang dibandingkan daerah-daerah di dekat pusat kekuasaan.
Dalam tulisan dengan judul yang saya review diatas; “keterpinggiran, kekuasaan,dan produksi: analisis terhadap transformasi daerah pedalama”, penulisnya, Tania Murray Li, mengungkapkan bahwa cara-cara pemberlakuan kekuasaan atau cara pelaksanaan penguasaan penting sekali untuk memahami proses pembentukan negara. Konsep yang sangat relevan dalam memahami daerah pedalaman masa kini adalah proses teritorialisasi yang didefinisikan oleh Vandergeest dan Peluso (1995:387) sebagai proses yang dilalui oleh “semua negara modern dalam membagi wilayahnya menjadi zona-zona politik dan ekonomi yang kompleks dan saling bertumpang tindih, mengatur kembali penduduk dan sumber daya di dalam unit-unit ini, dan membuat aturan yang membatasi bagaimana dan oleh siapa wilayah ini dapat dimanfaatkan”.
Lebih lanjut, Murray Li mengungkapkan bahwa analisis terhadap keterpinggiran daerah pedalaman setidaknya mempunyai beberapa implikasi. Pertama, dataran tinggi dan dataran rendah atau pedalaman dan pesisir perlu dianalisis melalui kerangkan tunggal, dan diperlakukan sebagai satu sistem yang terpadu. Pinggiran adalah bagian penting dari keseluruhan, bukannya terpisah, dan bahkan merupakan objek penyelidikan tersendiri. Kedua, keterpinggiran jelas merupakan konsep hubungan (relasional), yang menyangkut suatu konstruksi sosial, bukan sekedar konstruksi alami. Akhirnya, jelas ada sifat asimetris antara pinggir dan pusat: bentuk hubungan keduanya bukan sebagai dua bagian yang setara dari suatu keseluruhan. Oleh karena itu, pembentuk daerah pinggir dan pusat tersebut paling tetap dipahami sebagai suatu proyek hegemoni, yang selalu dapat dipertentangkan dan dirumuskan kembali.
Keterpinggiran sebagai konstruksi sosial ini (sebagai proyek hegemoni) melibatkan suatu proses, yang melaluinya suatu ruang tertentu mendapat deskripsi yang disederhanakan, dijadikan stereotip dan dikontraskan atau dibandingkan dan diberi peringkat menurut kriteria yang ditentukan oleh pusat. Penentuan pusat ini bisa positif atau negatif, bahkan sering diperdebatkan, atau bahkan bisa saling bertentangan. Daerah pinggiran memiliki sifat sebagai tempat nostalgia dan diwarnai romantisme tetapi juga cemoohan. Tanpa memperhatikan apakah hasil penilaian terhadap pinggiran itu positif atau negatif, “ruang yang dibayangkan” atau “mitos ruang” itu menjadi terwujud; “ruang” ini membentuk prasangka dalam diri orang-orang yang merancang kebijakan, mengambil keputusan, dan menafsirkan hasilnya, melalui retorika atau substansi yang menekankan pentingnya campur tangan pusat di daerah pinggiran.
Selain itu, kaitan antara daerah pedalaman dengan budaya yang berbeda, dengan penilaian negatif terhadap perbedaan itu sudah terjadi dalam sejarah yang panjang di Indonesia, dan juga mencerminkan perubahan-perubahan yang terjadi di dataran rendah yang diasumsikan sebagai daerah yang lebih maju, khususnya di pesisir masyarakat yang masuk menjadi penganut agama Islam seperti yang terjadi ketika dinasti Samudera Pasai pada abad ke-13 di pesisir Sumatera Utara, masih merasakan perlunya mendapatkan legitimasi politik dan spiritual oleh “kekuatan atau para penguasa yang masih ada di pedalaman”. Masyarakat kuno di pegunungan tengger di Malang Jawa Timur misalnya, masih tetap ditakuti dan dikagumi karena kekuatan spiritual mereka yang diduga masih ada. Tetapi, bersamaan dengan berjalannya waktu, letak kekuasaan di seluruh kepulauan Indonesia bergeser ke arah Islam dan ke daerah pesisir (kecuali Kerajaan Mataram dan Minangkabau, yang keduanya berada di pedalaman). Waktu itu terjadi pemisahan antara mereka yang memilih hidup sebagai pemeluk agama Islam di pesisir atau sepanjang sungai, dan mereka yang memilih dataran tinggi, daerah pedalaman dan daerah hutan belantara. Penduduk daerah pedalaman dan habitat mereka selalu dipandang rendah.
Kenyataannya, daerah pedalaman sebetulnya dibutuhkan oleh daerah yang berada di pusat, terlebih dalam konteks kenegaraan seperti saat ini. Misalnya, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) Kabinet pimpinan Presiden Yudhoyono “merasa perlu” mengambil langkah dalam membangun daerah-daerah yang dikategorikan masih tertinggal, karena secara de facto dan de jure mereka bagian yang masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lebih lanjut Murray Li mengungkapkan, kemungkinan untuk dapat melepaskan diri dari penindasan dan juga sistem pertanian di pedalaman yang produktif menjadi daya tarik atau mendorong orang untuk tetap tinggal di pedalaman. Selain pertanian, daerah pedalaman memberikan sumber mata pencaharian dan keuntungan lain, termasuk hasil hutan yang diperdagangkan di pasaran internasional dan juga sumber daya mineral. Di Kalimantan, kegiatan seperti itu telah mendukung penduduk pedalaman dan menarik masuknya penduduk dari luar, dan menghubungkan wilayah yang paling terpencil dengan sistem perdagangan regional dan internasional. Pusat perhatian penguasa di daerah pesisir adalah untuk merancang mekanisme yang memungkinkan mereka dapat meraih (sebagian besar) kekayaan yang dihasilkan oleh daerah pedalaman. Dalam konteks ini, pemerintah “merasa perlu” untuk membangun daerah-daerah tertinggal. Terlebih jika dihadapkan kenyataan problematika demografi dimana pusat-pusat pemerintahan menjadi titik pelarian penduduk di pedalaman untuk mencari mata pencaharian karena sempitnya lapangan pekerjaan di pedalaman. Pemerintah dipaksa untuk meratakan sebaran kependudukan yang timpang ini hingga langkah transmigrasi pun ditempuh. Maka semakin komplit dan sempurna sudah kewajiban pemerintah untuk membangun daerah-daerah tertinggal jika tidak ingin penduduk di daerah pedalaman yang sudah disumbang dengan penduduk transmigran merasa diabaikan hidupnya.
Refleksi Kebijakan
Mencermati isu demikian dalam konteks kekinian, agaknya kita bisa sedikit berharap dengan langkah yang ditempuh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal di bawah komando sang menteri, Ir. H. Helmy Faishal Zaini. Dalam Kompas (Edisi Senin, 10 Mei 2010, Hal. 24) terbentang judul besar; “Lima Rumusan Strategis Kementerian PDT untuk Percepatan Pengentasan Daerah Tertinggal”. Dalam upaya mengentaskan daerah-daerah tertinggal, perlu adanya pengarusutamaan langkah-langkah untuk mendorong percepatan pengentasan daerah tertinggal. KPDT merumuskannya dalam lima langkah strategis pembangunan daerah tertinggal untuk pelaksanaan pembangunan pada 2010.
Langkah-langkah tersebut telah dirumuskan oleh KPDT dalam rakornas bersama Bappeda 183 Kabupaten tertinggal dan 50 Kabupaten yang telah dinilai terentaskan pada 25-27 April di Jakarta. Lima langkah tersebut adalah; pertama, kebijakan fiskal bagi daerah-daerah tertinggal diantarannya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang telah dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan. Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia, karena kualitas masyarakat di daerah-daerah tertinggal dinilai masih di bawah standar. Ketiga, tata kelola sumber daya alam. Perlu adanya tata kelola SDA yang dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan. Dengan potensi SDA yang ada, daerah-daerah tertinggal dapat mengembangkan produk unggulannya, misalnya melalui PRU-KAB (Program Unggulan Kabupaten) sehingga ia dapat bersaing dengan daerah lainnya. Keempat, harmonisasi dan sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten), karena jika tidak maka usaha-usaha yang ada tidak akan membuahkan hasil. Perlu adanya komitmen bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kelima, kerja sama stakeholders. Upaya untuk mengentaskan daerah tertinggal perlu mendapat dukungan dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk pihat swasta.
Dari langkah KPDT di atas, kita bisa melihat bahwa daerah pedalaman atau daerah yang masih tertinggal adalah satu kesatuan yang erat kaitannya dengan daerah-daerah yang telah lebih dulu maju atau daerah-daerah pusat kekusaan. Oleh karena itulah, langkah harmonisasi dan sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah adalah langkah yang sangat penting dan niscaya harus dilakukan, dan seharusnya pula menjadi langkah yang pertama kali ditekankan dengan menempatkannya pada point pertama sebelum langkah-langkah yang lain. Karena komitmen bersama antara semua pihak mutlak yang pertama dan utama sebelum berjalan mengerjakan langkah-langkah lainnya. Hal ini sesuai dan sejalan dengan ucapan Murray Li yang mengatakan bahwa konsep keterpinggiran mempunyai implikasi yakni dataran tinggi dan dataran rendah atau pedalaman dan pesisir (pusat-daerah) perlu dianalisis melalui kerangkan tunggal, dan diperlakukan sebagai satu sistem yang terpadu. Pinggiran adalah bagian penting dari keseluruhan, bukannya terpisah, dan bahkan merupakan objek penyelidikan tersendiri.
Penempatan langkah yang merupakan prinsip kerangka tunggal pusat-daerah dalam prioritas keempat oleh KPDT sedianya bisa disayangkan. Namun sekali lagi kita cuma bisa berharap semoga kelima langkah tersebut dapat berjalan bersama demi keberhasilan program pembangunan daerah tertinggal tanpa ada pihak yang merasa diabaikan. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini. apa saja. monggo.