Anda pasti terkejut membaca judul tulisan di atas, dengan tiga tanda seru saya tuliskan judul itu, “Hapuskan Lagu Makan Nggak Makan Asal Kumpul !!!”. Bagi saya sendiri, ini hal biasa. Ya, kenapa tidak? Apa lah artinya sebuah lagu? Sedangkan UU yang begitu kuat legitimasinya saja dapat dengan mudah diutak-atik mengikuti kebutuhan dan kepentingan di setiap jaman, dan mungkin saja, untuk kepentingan Udel segelintir golongan saja. Sekarang, di era millennium ini, sebuah era penuh globalisasi, dimana kita melihat relevansi atau kesesuaian lirik lagu Makan Nggak Makan Asal Kumpul dengan kehidupan kita saat ini? Jangan jangan ia hanya romantika, euophoria, dan isapan jempol saja? Benarkah? Apakah tidak lebih tepat jika lagu itu dihapuskan saja, atau digubah sedemikian rupa, serta diganti judulnya menjadi Kumpul nggak kumpul asal makan sesuai perkembangan waktu sekarang yang menuntut untuk kerja ekstra agar tetap bisa survive? Coba kita bayangkan bersama, jika 235an juta rakyat Indonesia menyanyikan dan menghayati semua lagu Makan Nggak Makan Asal Kumpul, bisa bisa semuanya menjadi Loyo karena tak apa-apa tak bekerja, tak apa apa tak makan, asal bisa nongkrong bareng! Pendek kata, saya menduga, pernyataan dalam judul lagu itu akan membawa kita pada kondisi yang mandeg dan selalu kalah dalam setiap kompetisi, sekali lagi, di era globalisasi ini. Inilah dugaan saya. Karena itulah, mari kita galang persatuan untuk mendesak Slank menghapuskan lirik lagu itu.
Tetapi, anda jangan buru-buru dulu menyimpulkan, sebelum anda membaca keseluruhan tulisan ini. Disini, mau tak mau, harus kita akui, bahwa lirik lagu yang rilis masa reformasi itu mengadopsi dari falsafah hidup orang jawa yang berbunyi Mangan ora mangan waton ngumpul. Yang kurang lebih bermakna sama dengan judul lagu diatas. Kenapa sampai muncul pepatah demikian, karena memang seperti itulah karakter kebanyakan dari kita, paling tidak saat itu. Orang-orang semacam ibu Barack Obama, yang berprofesi sebagai antropolog, menyebutnya sebagai kepribadian kolektif, atau karakter yang dimiliki bersama oleh masyarakat.
Pepatah itu mengacu pada keadaan manusia yang sabar, ikhlas dan nrimo kata orang jawa. Karakter yang demikian ditunjang oleh karakter yang tenang dan mengutamakan jalinan sedulur, atau jalinan persaudaraan. Tidak suka dengan goro-goro. Itu makanya, dalam pakaian adat jawa, laki-laki selalu menyembunyikan kerisnya dibelakang. Karena ia tidak mau dilihat bersenjata dan terlihat garang, tetapi selalu waspada dengan senjata yang tersembunyi di balik badan. Ya, senjata adalah lambang dari kekerasan dan permusuhan. Itulah makanya, orang jawa terlihat cenderung tenang dan tidak agresif, sehingga kemudian juga muncul falsafah Alon-alon waton Klakon yang diadopsi Slank menjadi Alon-alon asal kelakon. Kedua falsafah itu, antara Mangan ora mangan waton ngumpul dan alon-alon waton klakon, adalah falsafah yang lahir dari pemikiran orang jawa terdahulu yang menganggap penting kekerabatan, bahwa persaudaraan itu mutlak yang utama, di samping hubungan dengan Tuhan dan alam. Karena itulah, tak apa-apa mereka miskin harta, yang penting kedamaian dalam persaudaraan tetap terjaga dengan baik. Kerukunan adalah kesuksesan tiada tara. Usaha untuk mengejar materi tak dapat mengalahkan kepentingan bersaudara. Santai saja, yang penting tercapai, tenang, damai, dan semua selamat!
Sedangkan kebalikan dari kedua falsafah itu, yakni Kumpul nggak kumpul asal makan dan Alon-alon ga bakal Klakon, adalah kebutuhan kekinian yang disebabkan oleh kondisi zaman yang menuntut persaingan ketat, yang menuntut kita berlari cepat dan terus menguras tenaga dan pikiran untuk materi, sehingga yang terjadi adalah hilangnya rasa kebersamaan dan yang muncul adalah rasa antisosial dan individualisme. Kebutuhan untuk di depan kemudian membolehkan sikut sana sini. Silakan kembalikan memori anda pada berbagai peristiwa penggusuran rakyat miskin yang dilakukan pemerintah karena kuasa orang orang berduit, untuk dibangun taman lah, Mall lah, terminal lah, apapun namanya. Dan untuk ini, silakan anda percaya atau tidak, keadaan demikian adalah dampak pemikiran dari barat yang bernama kapitalisme, sistem ekonomi yang mementingkan modal, yang tak punya modal, cenderung bahkan pasti akan kalah, bukannya modal, lama-lama bisa jadi modar. Pendek kata saya akan katakan, telah terjadi pergeseran orientasi pada masyarakat kita, dari orientasi yang memandang penting dan mulia sebuah kerukunan bersama, bergeser pada orientasi materi, kejar-kejaran kekayaan.
Lalu, tidak maksud saya pula untuk mengatakan kebutuhan itu salah. Cuma saja, kenapa yang terjadi adalah berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan tapi dengan merelakan harga diri tergadaikan? Kenapa pula untuk tujuan penumpukan harta darah bisa bersimbah dimana-mana? Kenapa rakyat kecil yang memang tak memiliki akses untuk berlari dengan kejam ditinggalkan begitu saja, dan dilindas deru mesin pembangunan? Kenapa mereka tidak diangkat, dibesarkan hatinya, diberikan motivasi dan dibantu moril dan materiil agar mereka juga bisa bangkit? Kenapa kedamaian dan persaudaraan menjadi barang langka? Apakah tidak bisa jika kebutuhan untuk berprestasi itu selalu bergandeng mesra dengan Peace, Love, Unity, and Respect? Apa memang seperti itu aturannya? Kenapa pula dunia sepakbola kita selalu diwarnai kerusuhan? Padahal seharusnya ia berada di garda terdepan dalam urusan sportivitas dan fairplay. Ya, itu semua karena kita telah menjadi manusia-manusia yang lupa daratan. Asal kita bisa makan. Tak peduli dengan yang lain. Apa pula itu namanya teman, saudara, kebersamaan, kerukunan, keadilan, pemerataan? Tai kucing! Kita telah berubah menjadi manusia-manusia yang antipati, antisosial, dan kaku seperti robot. Tak memiliki perasaan. Sedemikian bengiskah kita telah berubah? Tentulah tidak semua dari kita seperti itu. Kita semua percaya, masih banyak orang baik diantara kita, entah berapa perbandingannya dengan yang tak baik.
Akhirnya, kita kembalikan lagi hubungan dengan lirik lagu Makan nggak makan asal kumpul, bahwa seruan untuk menghapus lagu tersebut akan senada dan selaras dengan perjalanan manusia yang selalu melupakan sesamanya dalam kehidupan. Jadi, judul diatas tentulah harus dimaknai sebaliknya. Biarkan tetap hidup dan berdengung.
* Penulis adalah Mahasiswa semester VIII jurusan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini. apa saja. monggo.