Berbeda dengan aliran feminisme liberal, radikal serta marxis dan sosialis, femisisme psikoanalisis dan gender percaya bahwa penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psike perempuan, terutama dalam cara pikir perempuan. Berdasar konsep Freud, seperti tahapan Oedipal dan komplek Oedipus, mereka mengklaim bahwa ketidaksetaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman masa kanak – kanak awal mereka, yang mengakibatkan bukan saja cara laki – laki memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, melainkan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas adalah lebih baik dari femininitas. Berhipotesis bahwa dalam msyarakat nonpatriarkal, maskulinitas dan feminitas akan dikonstruksikan secara berbeda dan dihargai secara setara, feminis psikoanalisis merekomendasikan bahwa harus bergerak maju menuju masyarakat androgin, yang di dalam masyarakat ini manusia seutuhna merupakan campuran sifat – sifat positif feminin dan maskulin.
Berbeda dengan feminis psikoanalisis, feminis gender cenderung berpendapat bahwa mungkin memang perbedaan biologis dan juga perbedaan psikologis, atau penjelasan kultural atas maskulinitas laki- laki dan feminitas perempuan. Mereka juga menekankan bahwa nilai – nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan perempuan ( lembut, sederhana, rasa malu, sifat mendukung, empati, kepedulian, hat-hati, sifat merawat, intuisi, sensitivitas, dan tidak egois ) secara moral lebih baik dari pada kelebihan nilai – nilai tradisional yang dihubungkan dengan laki-laki ( kekerasan hati, ambisi, keberanian, kemandirian, ketegasan, ketahanan fisik, dan kendali emosi ). Karena itu feminis gender menyimpulkan bahwa perempuan harus berpegang teguh pada femininitas, dan bahwa laki-laki harus melepaskan bentuk ekstrim dari maskulinitasnya. Menurut mereka suatu etika kepedulian ( ethics of care) feminis harus menggantikan etika keadilan ( ethics of justice ) maskulin.
Akar Feminisme Psikoanalisis: Sigmund Freud
Freud mengemukakan tentang perkembangan seksualitas manusia. Menurutnya, anak-anak mengalami tahapan perkembangan psikoseksual yang jelas, dan gender dari setiap orang dewasa adalah hasil dari bagaimana ia menghadapi tahapan itu. Maskulinitas dan feminitas dengan kata lain merupakan produk dari pendewasaan seksual. Jika anak laiki-laki berkembang normal, mereka akan menjadi laki – laki yang menunjukan sifat maskulin yang diharapkan, dan jika perempuan berkembang secara normal maka akan menjadi perempuan dewasa yang menunjukan sifat-sifat feminin. Manusia pada masa bayi akan mengalami perkembangan seksual. Dimulai dari tahap oral ketika anak mendapatkan kepuasan melalui apa yang masuk dalam mulutnya. Berlanjut dengan tahap anal saat anak berusia dua sampai tiga tahun. Pada tahap ini, anak mendapatkan sensasi ketika menahan dan mengeluarkan kotoran. Menyusul kemudian tahap phallic saat anak berusia 3 sampai dengan 4 tahun. Pada tahap ini, anak mendapatkan kepuasan dari alat kelaminnya dengan melakukan yang Freud sebut sebagai masturbasi kanak-kanak. Anak laki-laki mendapatkan kepuasan dari stimulasi pada penisnya, dan anak perempuan pada klitoris. Di sinilah asal kata tahap phallic, yang berarti phallus atau penis. (Dari pemilihan katanya, terlihat bagaimana Freud lebih berfokus pada anak laki-laki).
Pada tahap phallic, anak laki-laki mengembangkan cinta kepada ibunya. Freud menyebutnya sebagai kompleks Oedipus, diambil dari kisah Oedipus yang membunuh ayahnya untuk mendapatkan ibunya. Namun melihat klitoris yang dimiliki ibu dan anak perempuan lainnya, ia berpikir bahwa mereka telah dikastrasi oleh ayahnya. Ia menjadi takut dikastrasi sehingga mematikan cinta kepada ibunya dan beridentifikasi dengan ayahnya, dengan mengikuti aturan-aturan dan nilai-nilai yang dimiliki ayahnya.
Setelah itu adalah tahap latency, dimana anak berhenti menampilkan seksualitasnya secara terbuka. Impuls seksual itu sendiri tidak mati, hanya ditekan sementara untuk akhirnya muncul lagi pada saat pubertas. Pada masa pubertas ini, anak mulai memasuki tahap genital, yang dicirikan dengan kemunculan kembali energi seksual. Namun kali ini energi tersebut bukan lagi ditujukan untuk stimulasi diri sendiri, namun diarahkan kepada orang lain dengan jenis kelamin yang berbeda.
Dalam pandangan Freud, perkembangan laki-laki dan perempuan mulai berbeda pada tahap phallic. Kompleks Oedipus tidak dialami perempuan. Dampak dari tidak dialaminya kompleks Oedipus ini membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembangan perempuan. Sayangnya hal ini luput dalam perkuliahan psikologi. Sejumlah buku psikologi bahkan menyajikan suatu kesalahan dengan menyebutkan bahwa pada perempuan, kompleks Oedipus ini dinamakan dengan kompleks Elektra. Kompleks Elektra menceritakan bagaimana anak perempuan mencintai ayahnya dan mengambil nilai-nilai ibunya. Dengan menjadi serupa ibunya, anak perempuan meyakini akan memperoleh cinta ayahnya sama seperti ibunya. Perlu diketahui bahwa istilah kompleks Elektra ini tidak disebutkan oleh Freud, melainkan oleh para pengikutnya. Selain itu, kisah kompleks Elektra ini meskipun tidak salah, namun kurang tepat.
Menurut Freud, anak perempuan tidak mengalami ketakutan akan kastrasi sebagaimana yang dialami anak laki-laki. Ketika melihat klitorisnya, anak perempuan justru meyakini bahwa ia telah dikastrasi. Sama seperti anak laki-laki, ibu juga merupakan obyek cinta pertama bagi anak perempuan. Hal ini wajar mengingat pada tahap psikoseksual pertama, yaitu oral, baik anak laki-laki maupun perempuan mendapatkan kepuasan dari ibunya, terutama melalui payudara ibu yang mengalirkan makanan. Namun ketika melihat klitoris, baik klitorisnya maupun klitoris ibu dan anak perempuan lain, serta membandingkan dengan penis yang dimiliki laki-laki, ia pun berasumsi bahwa ibu dan semua perempuan telah dikastrasi oleh ayahnya. Menyadari hal itu, anak perempuan justru merasa jijik terhadap ibunya, dan barulah kemudian ia mengalihkan cinta kepada ayahnya. Proses pengalihan ini sangat ditekankan oleh Freud. Menurutnya, perempuan dapat sewaktu-waktu kembali kepada obyek cinta asal tersebut. Dengan perkataan lain, perempuan memiliki kemungkinan besar untuk menjadi lesbian.
Tidak adanya ketakutan akan kastrasi pada diri perempuan juga akan membawa pengaruh signifikan dalam perkembangan superegonya. Pada laki-laki, karena ketakutannya akan dikastrasi, justru mendorongnya untuk patuh pada Hukum Ayah. Dengan tunduk pada Hukum Ayah, laki-laki justru belajar mengendalikan hasrat terhadap ibunya dan bersabar menunggu gilirannya untuk mendapatkan perempuannya sendiri kelak. Oleh karena itulah, ketakutan akan dikastrasi, justru memungkinkan anak laki-laki berkembang menjadi laki-laki dewasa yang matang. Ia mampu mengendalikan diri, memiliki moralitas, dan dapat belajar mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Menurut Freud, hal ini akan menjadi bekal bagi laki-laki untuk masuk ke dalam masyarakat, untuk aktif berorganisasi bahkan berpolitik. Sedangkan perempuan, karena tidak pernah mengalami ketakutan akan kastrasi tersebut, superegonya tidak pernah berkembang dengan sempurna. Ia menjadi manusia yang lemah, yang tidak pernah belajar patuh pada Hukum Ayah, dan akhirnya tidak dapat berpartisipasi pada ranah publik. Wilayah perempuan hanya domestik, yaitu di rumah, menjadi istri dan ibu.
Selain itu, dengan mengubah obyek cinta dari ibu kepada ayah, maka perempuan pemuasan seksualnya pun berubah dari klitoris ke vagina. Serupa dengan penis (meskipun telah dikastrasi), klitoris dalam pandangan Freud adalah seksualitas aktif. Sedangkan vagina adalah sesuatu yang pasif, yang membutuhkan penis untuk mencapai kepuasan. Jadi ketika anak perempuan mengalihkan obyek cinta kepada laki-laki, ia kehilangan maskulinitasnya (aktif) dan mulai mengambil nilai-nilai feminin (pasif). Pengalihan klitoris ke vagina ini dapat menjadi cikal bakal munculnya neurotisme (gangguan kejiwaan) bagi perempuan jika perempuan tidak dapat melaluinya dengan baik. Hal ini dikarenakan klitoris sulit untuk didesensitisasi. Ada kemungkinan perempuan dewasa akan kembali pada kepuasan klitoris dengan melakukan masturbasi seperti saat ia berusia 3-4 tahun di tahapan phallic. Atau perempuan juga dapat menjadi frigid, mengakhiri seksualitas karena bosan terus menekan hasrat klitoris.
Jadi menurut Freud, perempuan akan lebih mungkin menjadi neurotik dibandingkan laki-laki karena kepuasan seksualnya berubah dari klitoris ke vagina sedangkan laki-laki tetap pada penisnya. Lebih lanjut perempuan neurotik ini akan sulit sembuh meskipun diterapi. Hal ini dikarenakan superegonya tidak berkembang dengan baik, sehingga ia menjadi rigid dan tidak dapat menggunakan kesempatan untuk sembuh yang tersedia melalui terapi. Pandangan Freud yang sangat pesimis terhadap perempuan masih dapat dilihat dalam teorinya mengenai kecemburuan terhadap penis (penis envy). Kecemburuan ini muncul ketika anak perempuan melihat bahwa ia tidak memiliki penis. Kelak saat dewasa, kecemburuannya ini membuatnya menginginkan bayi sebagai pengganti penis. Menjadi ibu dan melahirkan, menurut Freud, dapat menggantikan kehilangan penis yang dialami perempuan. Apalagi jika anaknya adalah laki-laki, yang dapat dijadikan si ibu sebagai realisasi ambisinya yang telah ditekannya ketika ia harus mengalihkan kepuasan klitoris (aktif, maskulin) ke vagina (pasif, feminin).
Bahkan sekalipun penis dapat digantikan dengan bayi, kecemburuan terhadap penis itu sendiri memiliki konsekuensi jangka panjang pada perempuan. Freud menyebutnya sebagai sisa-sisa/residu dari kecemburuan terhadap penis (residual of penis envy). Residu ini muncul dalam tiga bentuk. Pertama, perempuan akan menjadi narsis, yaitu terokupasi pada diri. Ia memiliki keinginan kuat untuk dicintai, suatu keinginan yang bersifat pasif karena ia telah mengalihkan tujuan seksualnya dari klitoris aktif ke vagina yang pasif. Kedua, perempuan akan mengalami kekosongan dengan berfokus pada penampilan fisik. Penampilan fisik yang menarik dijadikannya alat untuk menutupi kekurangannya atas penis yang tidak dimilikinya. Terakhir, perempuan memiliki rasa malu yg dibesar-besarkan. Misalkan ia membutuhkan ruang tertutup untuk mengganti pakaian karena ia malu melihat tubuhnya yang telah terkastrasi.
Mencari Psikoanalisis Dalam Arah Feminis
Muncul tiga tokoh aliran feminisme psikoanalisis yang menentang determinisme biologis yang dikemukakan oleh freud, yaitu Adler, Horney dan Clara Thompson. Mereka berpendapat bahwa identitas gender, perilaku gender, serta orientasi seksual merupakan hasil dari nilai-nilai sosial dan lingkungan, bukan karena fakta biologis yang berbeda. Asumsi mereka adalah dengan adanya pemberdayaan “diri” yakni melalui pemikiran dan tindakan yang lahir dari kaum perempuan sendiri, yang nantinya akan membuat mereka setara dengan laki-laki di masyarakat. Mereka percaya bahwa perasaan bersalah, inferioritas, serta kebencian terhadap diri sendiri bukan berasal dari faktor biologis, melainkan hasil dari interprestasi kebudayaan. Hal ini didasari dari pemikiran mereka bahwa semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan menginginkan kesempatan yang sama untuk membentuk takdirnya secara kreatif dan aktif.
Pengasuhan Ganda
Dipelopori oleh dua tokoh dari aliran feminism psikoanalisis, yakni Dorothy Dinnerstein dan Nancy Chodorow. Mereka berpendapat bahwa sub-ordinasi dan opresi terhadap perempuan berasal dari monopoli dari perempuan sendiri terhadap terhadap pengasuhan anak/mothering.
Dinnerstein menggambarkan transisi kita dari bayi ke masa dewasa sebagai proses penolakan terhadap ibu yang berlangsung perlahan dan menyakitkan, yang merendahkan perempuan. Laki-lali yang secara seksual berbeda dengan ibunya, akan melepaskan diri dari ibunya, dan menyadarinya hasrat dirinya akan kebebasan. Sedangkan sebaliknya bagi perempuan, yang secara seksual sama dengan ibunya, sama sekali tidak akan melepaskan diri dari ibunya. Dinnerstein berpendapat bahwa laki-laki mempunyai rasa kebutuhan untuk menguasai perempuan dan perempuan mempunyai kebutuhan untuk dikuasai oleh lelaki, yang pada akhirnya memunculkan pengaturan gender yang salah bentuk.
Sebaliknya Chodorow menggambarkan hubungan bayi dengan ibunya tidak berlangsung menyakitkan seperti yang digambarkan Dinnerstein, melainkan dikikis secara perlahan, tertutama pada anak perempuan. Pendekatan yang lebih halus ini, mengisyaratkan bgi Chodorow bahwa ukuran perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah seberapa terikat mereka kepada ibunya, sementara bagi Dinnerstein ukurannya adalah seberapa terpisah anak-anak dengan ibunya.
Pada intinya, perbedaan Chodorow dan Dinnerstein terletak pada perbedaan penekanan daripada substansinya. Dinnerstein memfokuskan analisisnya pada ketidak mampuan laki-laki dan perempuan untuk mengatasi rasa ketidakberdayaan di masa dewasa, sebagaimana dirasakan ketika saat masih bayi, yang hidupanya bergantung pada kehendak perempuan yang berubah-ubah yakni ibunya. Sedangkan Chodorow, menekankan pada kebutuhan di luar kesadaran laki-laki dan perempuan untuk mereproduksi pengalaman simbiosis denga ibunya pada masa mereka bayi dan menghadirkan di masa dewasa.
Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh Dinnerstein dan Chodorow adalah sama-sama menegaskan bahwa pengasuhan ganda adalah penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pengasuhan oleh perempuan. Atau dengan kata lain Mothering/pengasuhan oleh ibu harus diubah menjadi parenting/orang tua. Hal ini dinilai oleh mereka akan menghancurkan secara total pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dan menghilangkan ranah domain dan publik bagi laki-laki dan perempuan. Atau dengan kata lain terciptanya kesetaraan diantara laki-laki dan perempuan.
Kritik terhadap Dinnerstein, Chodorow, dan Pengasuhan Ganda
Tiga asumsi yang mendasari Kritik terhadap Dinnerstein dan Chodorow
1. Penekanan opresi terhadap perempuan lebih bersifat psikologis dari pada sosial, kedua tokoh ini melihat sistim politik,ekonomi, hukum dan kebudayaan memaksa perempuan untuk menjadi ibu, perempuan adalah ibu karena perempuan menganggap diri mereka ibu. Hal ini mengundang kritik dengan asumsi bahwa keinginan serta kebutuhan seorang perempuan untuk menjidi ibu bukan disebabkan kerena pikiran namun lebih dikarenakan kondisi sosial khusus. Contoh pendapatan laki-laki lebih tinggi dalam dunia kerja.
2. kritik terhadap Dinnerstein dan Chodorow trentang konsep keluarga.
3. Para kritikus keberatan terhadap pemecahan masalah yang ditawarkan oleh Dinnerstein dan Chodorow dengan menciptakan dan mempertahankan pengasuhan ganda.
Elshtain tokoh yang banyak menentang konsep kedua tokoh tersebut diantaranya konsep Dinnerstein tentang hubungan simbiosis yang istimewa dengan ibunya yang menghasilkan sikap peempuan yang perhatian, penyayang dan peduli yang berbeda antara anak laki-laki yang cenderung digambarkan sebagai pemburu dan pemburu, penggali harta kekayaan yang hal ini dipandang sebagai suatu masalah oleh Dinnerstein yang menganggap pengasuhan ganda jauh akan mempunayi banyak dampak positif baik bagi laki-laki mapun perempuan. Laki-laki yang merasa terpenuhi kebutuhan untuk menguasai perempuan atau menekan suara feminin dalam dirinya dengan perempuan yang merasa tanpa terancam dengan tetap mendapatkan sikap feminin karena tidak lagi terpana oleh ibu yang omnipaten. Elshtain mengganggapnya Dinnerstein gagal mempertanyakan pada dirinya sendiri apa yang akan hilang dan apa yang akan didapatkan dari sistim pengasuhan ganda..
Tokoh lainya Rossi yang mengugat konsep dari Chodorow yang mengeklaim bakwa Chodorow gagal untuk memmpertimbangkan secara serius kemungkinan bahwa yang pada akhirnya membiarkan anak laki-laki merawat bayi akan berdampak sangat buruk, psikologis dan biologi perempuan melengkapi perempuan untuk memahami kebutuhan bayinya. Rossi melihat psikologi dan biologi laki-laki tidak dipersiapkan untuk itu.
Kritik lain Janice Raymon terhadap pengasuhan ganda mencoba menerangkan akibat dari pengasuhan tersebut, jika laki-laki harus meluangkan waktu yang panjang untuk merawat bayi maka pemecahan ini akan memberikan lebih banyak lagi kekuasaan pada laki-lakibaik keuatan fisik maupun psikis dalam keluarga.dalam pandangan Raymon, bahwa perempuan melakkan sebagaian besar fungsi pengasuan bukanlah masalah yang harus di perdebatkan. Baginya masalah sebenarnya adalah bahwa perempuan melakukan fungsi sebagai ibu dengan ditempat dan dengan cara yang diinginkan laki-laki.
Menuju Reinterpretasi feminis dari kompleks Oedipus
Juliet Mitchell lebih berkaitan dengan tokoh Freud dengan teori “ bioloigi adalah takdir “ menurut Mitchell teori ini menunjukan bagimana makhluk sosial muncul dari semata mata makhluk biologis,perkembangan psikoseksual adalah suat proses dar interretasi sosial biologi, bukan manifestasi yang tidak dapt diubah dari takdir biologis. Menurut Mitchell, analisis freud dapar diterapkan kepada perkembangan psikoseksual pada masyarakat manapun.
Ketika Mitchell sependapat dengan Freud bahwa situasi Oedipal adalah universal , ia berpendapat bahwa tanpa pelanggaran terhadap inses, masyrakat manusia adalah suatu ketidakmungkinkan. Levi-strauss sebagai dasar karya Mitchell tabu inses adalah penggerak yang , dengan melarang hubungan seksual didalam keluarga yang memaksa untuk membentuk organisasi sosial yang lebih besar yang lain, kemudian muncul pertukaran hubungan seksual antar keluarha, jika pertukaran tidak terpenuhi keluarga biologis terus memprduksi dirinya dalam bntk yang sederhana.dan masyrakat sebagaimana yang kita kenal sekarang tidak akan terbentuk.
Feminisme Gender
Hal fundamental dari opresi terhadap kaum perempuan menurut feminisme gender berakar dari aspek tertentu dari perkembangan anak, bahwa anak laki-laki dan perempuan tumbuh dewasa dengan nilai-nilai dan kebaikan gender yang khas yang merefleksikan pentingnya keterpisahan dalam kehidupan laki-laki dan keterikatan pada kehidupan perempuan dan mengakibatkan inferioritas perempuan di bawah laki-laki dalam masyarakat patriarkal. Laki-laki dan perempuan memiliki kebaikannya sendiri-sendiri. Lalu, apa yang ditawarkan dalam feminisme gender? Apakah laki-laki harus memiliki kebaikan perempuan dan sebaliknya perempuan harus memiliki kebaikan laki-laki? Ataukah keduanya harus memiliki gabungan dan kedua kebaikan laki-laki dan perempuan?
Carol Gilligan: In a different voice
Apa yang dibicarakan oleh Gilligan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan moral laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung mengembangkan gaya penalaran moral yang menekankan pada keadilan, dan perempuan memberikan penekanan pada keinginan, kebutuhan, dan kepentingan. Gilligan berusaha menolak asumsi yang memandang perkembangan moral perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Adanya asumsi yang keliru tersebut, menurut Gilligan adalah disebabkan desain yang salah yang digunakan dalam mengukur perkembangan moral, seperti desain yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg tentang enam tahapan perkembangan moral: yaitu orientasi hukuman dan kepatuhan, orientasi relativis instrumental, kesesuaian interpersonal, orientasi hukum dan tatanan, orientasi legalistik sosial-kontrak, dan orientasi prinsip etis universal. Lemahnya perempuan dalam tes dalam desain itu bukanlah berarti perempuan memiliki kekurangan dalam melakukan penalaran moral, tetapi lebih diakibatkan oleh kecacatan desain itu yang menurutnya digunakan untuk mengukur metode laki-laki dalam melakukan penalaran moral. Sehingga suara perempuan tidak terdengar.
Karena penolakannya inilah, Gilligan menawarkan standar ukuran perkembangan moral yang secara akurat mengukur perbedaan perkembangan perkembangan moral laki-laki dan perempuan dengan mempertimbangkan metode gender yang mempengaruhi proses penalaran moral.
Tiga tingkatan penalaran moral dalam studi perempuan aborsi
Untuk memahami lebih mendalam mengenai pekembangan moral Gilligan melakukan studi terhadap dua puluh sembilan perempuan hamil yang akan mengambil tindakan aborsi ataukah tidak. Gilligan menyimpulkan bahwa semua perempuan dalam penelitiannya mendekati permasalahan moral ini sebagai hubungan antarmanusia. Keputusan yang akan diambil tidak hanya berpengaruh pada si janin saja, tetapi juga pada dirinya sendiri dan orang lain yang mungkin terpengaruh. Hasil yang didapatkan dari penelitiannya menekankan bahwa setiap perempuan dalam penelitian aborsi ini bergerak dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama didasari oleh kepentingan agen moral sendiri. Tingkatan kedua didasari oleh kepentingan orang lain. Dan tingkatan ketiga menyeimbangkan kedua kepentingan itu.
Dari penelitian itu Gilligan berpendapat bahwa tipe penalaran moral perempuan tidaklah lebih buruk daripada penalaran moral laki-laki dikarenakan oleh gaya penalaran moral perempuan yang berkepedulian.
Dalam tulisannya In a Different Voice Gilligan mengisyaratkan bahwa secara ideal para pemikir moral memiliki tendensi pada etika kepedulian daripada etika keadilan. Ia mengungkapkan perhatiannya yang besar bahwa kebanyakan remaja saat ini cenderung mengkarakterisasi pada kepedulian. Itu dikarenakan karena pola budaya kita yang terlalu tinggi memberikan penilaian kepada pemikiran ilmiah, objektif, dan ilmiah. Dengan kata lain lebih menggunakan otak daripada hati. Anak-anak lebih cenderung menggunakan hati karena selain belum sampainya mereka pada pemikiran “otak” juga karena kedekatan mereka pada keluarga dan teman-temannya. Mereka tampak lebih moral dari orang dewasa. Dan perempuan memiliki kemungkinan akselerasi yang lebih untuk sampai pada tahap kedewasaan yang selalu mendahulukan orang lain tidaklah tepat dikatakan sebagai inferior, melainkan justru kedalaman moral perempuan. Gilligan merasa berhasil mempertahankan posisinya dalam argumentasi bahwa perempuan tidak lebih rendah dalam perkembangan moral.
Nel Noddings: Caring
Noddings-pun sama seperti Gilligan dalam memberikan klaim bahwa perempuan lebih banyak bergerak dalam ranah emosional daripada rasional. Bahwa kebudayaan kita lebih menguntungkan “keadilan” yang maskulin daripada “kepedulian” yang feminin. Lebih ekstem dari Gilligan, Noddings bahkan berpendapat bahwa etika kepedulian lebih baik daripada etika keadilan, tidak semata-mata berbeda.
Noddings menekankan bahwa kepedulian muncul dari kepedulian alamiah yang bahkan tidak disadari. Kita bertindak dari kepedulian yang alamiah yang mendorong kita untuk menolong orang lain karena kita mengingingkannya. Kenapa kita menginginkannya adalah karena hubungan kepedulian alamiah akan diidentifikasi sebagai kondisi yang “baik”. Setelah dewasa, seorang anak akan terbiasa dengan sikap peduli, sehingga terucap “saya harus”. Kesengajaan dari kepedulian etis menggantikan kepedulian alamiah yang spontan.
Kritik Terhadap Etika Kepedulian Gilligan dan Nodding
Gilligan menyatakan bahwasannya bukanlah makusdnya untuk membuat generalisasi berdasarkan jenis kelamin, bahwa semua dan hanya laki-laki yang menganut etika keadilan serta bahwa semua perempuan yang menganut etika kepedulian. Tetapi, bahkan jika bukanlah maksud gilligan untuk melakukan generalisasi berdasarkan jenis kelamin mengenai moralitas laki-laki dan perempuan, para kritikus mencatat bahwa contoh sastra serta data penelitiannya, mengkomunikasikan gagasan bahwa laki-laki berfokus kepada hak, klaim, tuntutan kepentingan sendiri, tugas yang ketat, kewajiban, beban, dan batasan otonomi. Sementara perempuan berfokus kepada tanggung jaawab dan pentinnya memberikan tanggapan empatis terhadap orang lain, menunjukan perhatian dalam hubungan yang dekat, serta merawat dan memberikan bantuan.
Perempuan dalam kajian aborsi gilligan datang dari beragam latar belakang etnik dan kelas sosial, berumur antara lima belas hingga tiga puluh tiga, berbeda dalam hal status dan latar belakang pendidikan. Penalaran moral laki-laki berbeda dengan penalaran perempuan. Menghubungkan perempuan dengan kepedulian adalah berarti mempromosikan pandangan bahwa perempuan secara alamiah memang peduli/perawat. Tindakan itu juga berarti mempromosikan pandangan bahwa perempuan dapat dan selalu peduli apaun resikonya bagi diri mereka sendiri.
Dalam feminity and domination, sandra lee baktry berusaha untuk menentukan apakah pengalaman pengalaman prempuan dalam memenuhi ego laki-laki dan merawat luka laki-laki, pada ahirnya melemahkan atau memberdayakan perempuan. Semakin baik seorang istri mengurus suaminya, semakin tinggi ia akan mengaggap dirinya sebagai pilar, yang tanpa pilar itu, suaminya akan menjadi tidak berdaya. Pekerjaan emosional androsentris perempuan mungkin akan lebih membahayakan perempuan dari pada menguntungkannya. Laki-laki tidak menghadiahi perempuan status yang sama, dan karena itu kepedulian perempuanterhadap laki-laki merupakan “suatu gerakan merendahkan dirikolektif yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki, dan merupakan hal yang paling menghawatirkan. Semakin emosional dukungan perempuan terhadap laki-laki, semakin perempuan akan memandang segala sesuatu sebagaimana hal itu dipandang oleh laki-laki.
Puaka mengembangkan suatu kasus yang meyakikkan atas pandangannya mengenai etika kepedulian:
1. Ia menginterpretasi ulang penalaran moral tingkat gilligan, yang berorientasi kepada diri sendiri sebagai strategi perlindungan diri dan kepentingan diri yang digunakan perempuan untuk menghindari penolakan atau dominasi.
2. Puka mereinterpretasikan penalaran moaral tingkat dua gilligan yang diarahka kepada yanglain sebagai suatu kelanjutan dari “pendekatan perbudakan konvensional”, yang secara tipikal diadopsi perempuan dalam masyarakat patrialkal.
3. Pada tingkat ini, seorang perempuan belajarbuntuk mengetahui kapan ia dapat menunjjukan kekuatannya, kepentingannya, serta komitmtnnya(dalam struktur kekuasaaan laki-laki) dan dimana sebaliknya ia tunduk (pada struktur itu).
Sepanjang masyarakat tetap ptarialkal, perempuan tidak akan mencapai suatu keseimbangan yang layak dan berterima antara dan tanggung jawab dalam kehidupan moralnya.
Hoagland berargumentasi bahwa, secara paradoks, hubungan yang tidak sejajar seringkali bertentangan dengan totalitas kepentingan yang memperdulikan dan juga diperdulikan. Hoagland mencatat bahwa dalam pandangan noddings resiprositas adalah satu-satunya yang diperlukan untuk mengentalkan hubungan kepedulian, suatu kondisi yang dapat dipenuhi oleh yang dipedulikan semata-mata dengan mengakui dia adalah fokus perhatian dari yang memperdulikan.
Menurut pengamatan claudia card, ada perbedaan besar antara reseptivitas (penerimaan) dan resiprositas (timbal balik). Ketika seorang bayi tersenyum pada ibunya, si bayi menerima tindakan memperdulikan ibunya, tetapi tidak memberikan tindakan timbal balik atas tindakan itu.
Nodding menyiratkan bahwa kewajiban dari yang diperdulikan bukanlah untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan dari yang memperdulikan melainkan semata-mata melakukan “kepentingannya sendiri”. Hoagland berargumentasi bahwa noding juga salah ketika ia mengimplikasikan bahwa secara moral dimungkinkan bagi seorang istri yang mengalami kekerasan untuk meninggalkan suaminya yang abusif, dan bahkan membunuh suaminya sebagai pertahanan diri. Menurut hoagland, seorang istri yang mengalami kekerasan tidak semata-mata dimungkinkan secara moral untuk melepaskan diri dari hubungan destruktif; lebih dari itu, secara moral ia dituntut untuk melakukan hal itu jika hal itu memeng mungkin. Etika adalah tentang memahami kapan harus tidak peduli dan kapan harus peduli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini. apa saja. monggo.